Rabu, 18 September 2013

Bertanya dalam Hati


Sore itu, seorang pemuda berusia puluhan tahun atau tepatnta 26 tahun tengah berdiri di sebuah taman. Di tanganya ada sebuklet mawar yang di peruntukkan untuk kekasih hatinya. 
Sebagai layaknya pasangan lainnya, zidan telah janjian dengan mei di taman yang pertama kali mempertemukan mereka ini. Kenapa? Karna hari ini tepat satu tahun hari jadi mereka. zidan berniat mengajak Mei Untuk bertemu dengan kedua orang tua Zidan.

Tapi, lama Zidan menunggu. Dari posisi berdiri, duduk sampai berdiri lagi menatap ke arah pintu masuk taman, tetap saja bayang Mei tak juga muncul. Padahal waktu terus berjalan. Mendadak, beribu macam pertanyaan muncul dalam hatinya. Apa yang terjadi dengan mei? Apa jangan-jangan mei  udah gak cinta dia? Apa cuma masalah waktu? Mungkin mei telat.

Begitulah zidan mencoba menebak-nebak sendiri pertanyaan. Sangking asyiknya menebak, zidan tak sadar kalau sudah dua jam ia menghabiskan waktunya di taman itu. Sekarang sudah pukul tujuh malam. Bunga mawar di tangannya bahkan sudah layu. zidan menghela nafas lalu membuang asal bunga di tangannya dan berlalu dari sana.

Langkah-langkah Zidan terlihat kecewa menuju mobilnya yang terparkir di parkiran taman. Mungkin mei  gak bisa datang hari ini. Mungkin besok. Begitu batinnya berkata. Akhirnya, dengan tangan hampa-yang biasanya selalu menggandeng Mei. Zidan memasuki ferrarinya dan melesat meninggalkan taman.

***

Hari-hari terus berlalu, namun Mei tidak pernah datang. Bahkan tidak juga setelah hari jadi mereka yang di pikir Zidan,mei akan datang. Padahal, ini sudah lewat tiga hari. Mei bahkan tak mengiriminya pesan singkat seperti biasa ataupun menghubunginya untuk menghilangkan kecemasan hatinya. Sebenarnya ada apa? Mei tak pernah seperti ini sebelum-sebelumnya. Apa benar kalau... Zidan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak! Ia sangat tahu Mei mencintainnya dan begitupun ia pada Mei. Maka dari itu hari ini Zidan mengambil keputusan untuk menyambangi rumah Mei. Ia marah, tapi itu tak penting. Rasa sesak di dadanya karna berjuta pertanyaan lebih mengutamakan segalanya hari ini. Serta, rasa rindunya terhadap Mei tentunya.

Maka, sore itu sepulang ngampus, Zidan melajukan mobilnya pelan-pelan menyusuri jakarta menuju rumah Mei. Di kursi penumpang, ada sebuklet mawar favorit Mei  beserta sebuah kotak merah hati. Benar, Zidan berniat melamar Mei. Tak peduli apapun jawaban gadis itu, yang ia tahu, ia tak mau kehilangan Mei. Dan disinilah ia sekarang. Berdiri tepat di depan rumah Mei. Tapi, kenapa rumah ini teramat sepi dan... Suram?

Ragu-ragu Zidan melangkahkan kakinya memasuki serambi rumah Mei. Dia pernah dua kali ke sini. Yang pertama untuk sekedar main, dan yang kedua untuk bertemu orang tua Mei.Lama zidan  menunggu, sampai akhirnya pintu terbuka. Ibunda Mei sendiri lah yang membukakan pintu untuknya.

Awalnya, wanita paruh baya yang akrab di sapanya mama itu tertegun melihat kedatangan zidan. Namun, itu semua menghilang saat Zidan  menyalimi tangannya.
"Sore mah, mama apa kabar?" Tanya Zidan sopan.
"Zidan.."Desisnya lirih. Zidan menatapnya curiga sebelum memberikan senyum bingungnya.
"Iya mah, ini Zidan. Mei ada mah? Zidan mau ketemu Mei " dan entah sejak kapan tangis wanita yang di hormatinya itu pecah sebelum akhirnya suara ngebass pria dari dalam-yang sangat di kenalnya sebagai suara papa Mei. Yang muncul lalu menatapnya sama terkejutnya seperti wanita yang di panggilnya mama.

“Zidan...”
"Sore pah," sapa ZIdan lalu menyalimi (juga) tangan pria yang di hormatinya itu. Pria paruh baya itu menunjukkan kesan kikuk di tempatnya berdiri sebelum berkata dengan dinginnya.
"Mau apa kamu kemari?" Zidan tertegun. Belum pernah orang yang di panggilnya papa berkata dengan nada tak bersahabat begitu.
"Zidan mau ketemu sama Mei  pa. Mei ada kan Pa? Dan mama, kenapa mama tambah nangis? Ada apa?" Tanya Zidan  bertubi-tubi. Bukannya menjawab, wanita itu berlari masuk sembari menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Zidan mengernyit bingung lalu menatap pria di hadapanya dengan expresi papa-bisa-menjelaskan-apa-yang-terjadi?

Pria itu menghela nafas lalu menepuk pundak Morgan.
"Pulanglah nak, Mei sudah tidak ada di sini" zidan  terhenyak. Bingung serta kaget dengan perkataan calon papa mertuanya.
"Mak-maksud papa apa? Mei kembali ke Jepang?" Tanya zidan bergetar. Bahkan tangannya pun-yang ia sembunyikan di belakang punggungnya karna memegang sebuklet bunga dan kotak cincin. ikut bergetar hebat. Pria itu menarik narif pelan lalu menggeleng.
"Tabah Zidan, Mei telah tiada. Ia meninggal tiga hari yang lalu" serta merta buklet bunga dan kotak cincin di tangan Zidan terjatuh begitu saja ke lantai yang berhasil menimbulkan bunyi yang cukup keras. Zidan terpaku. Mencoba mencerna kata-kata (calon) papa mertuanya.

***

Dan disinilah Zidan  berada. Berdiri di depan sebuah gundukan tanah yang masih merah dengan nama yang sangat amat ia kenal. Mei Ananda Putri . Zidan menghela nafas lalu berjongkok sembari membuka kacamatanya. Ia tersenyum walau yang terlihat adalah senyum pesakitan. Semilir angin sore masih betah membuatnya menatap nisan di hadapannya lama-lama.
"Hei... Apa kabar kamu Mei?" Tanya Zidan parau. Di letakkannya bunga mawar kesukaan Mei sementara tangan kirinya masih memainkan kotak merah hati berisikan cincin platina putih. Zidan tersenyum miris mengingat kata-kata Ael di telpon malam sebelum hari jadi mereka.

Flashback...

"Jadi besok kamu harus datang ke taman itu pukul empat sore!" Tegas Zidan untuk kesekian kalinya. Terdengar gelak tawa di ujung sana.
"Aku gak mau janji Zidan, nanti kalau aku janji terus aku gak dateng, kamu kecewa" ucap Mei tenang. Zidan  menghela nafas
"Kamu bicara seolah kamu emang gak niat dateng Mei ." Kesal Morgan
"Bukan begitu, tapi.."
"Mei, mama dan papaku jauh-jauh datang dari singkawang untuk bertemu denganmu. Ku mohon datanglah." Pinta zidan melas. Mei  menghela nafas.
"Baiklah aku akan..."
"Yes! Aku tunggu sampai kamu dateng Mei  " potong Morgan tak sabaran.
"Hei, aku kan belum selesai bicara. Kamu suka sekali memotong pembicaraanku" kesal mei . Zidan terkekeh
"Tak usah marah-marah seperti itu, calon istriku masa seperti ini?" Ledek Zidan

"Ya sudah, cari saja gadis lain sana. Memangnya aku harus sempurna terus? Aku juga pasti punya kurang dan kamu pasti lebih menyesal nanti setelah menikah" kata Mei serius tapi Zidan  menganggapnya candaan.
"Dasar kamu ini, aku bercanda. Siapa yang mau melepaskan gadis manis manja yang pipinya akan seperti tomat saat ku goda? Enak saja, tidak akan!" ledek Zidan di sertai tawa geli
"Kamu das... Uhuk...uhuk..uhuk.."Mei  terbatuk tanpa sempat melanjutkan kalimatnya.
"Mei, kamu engga apa-apa kan? Mei” mendadak, suara Zidan terdengar cemas. Di sebrang sana Mei  meraih saputangannya dan menutupi wajahnya dengan saputangan tersebut. Ia membukanya dan menggeleng lemah melihat cairan kental tersebut.
“ Mei halo,Mei..." Mei tersentak kaget
"Aah, iya aku engga apa-apa Zidan. Zidan,sudah malam. aku lelah sekali hari ini, aku tidur dulu ya. Selamat malam dan jaga dirimu baik-baik" ucap Mei di sebrang sana.
"Baiklah, jaga dirimu juga. Kalau sakit, bilang padaku" Mei tersenyum miris.
"Night Aelovely.."
"Zidan..." Cegah Ael saat Morgan hendak menutup telpon.
"Hmm? Ya mei ?" Lama tak terdengar suara, hingga Zidan menangkap Mei setengah bergumam
"Apa? Aku gak denger Mei" kata Zidan mencoba untuk Mei mengulang kalimatnya.
"Aku sayang kamu, aku mencintai kamu... Selalu Zidan" lalu setelah mengatakan itu, sambungan telpon mereka terputus. Di sini, Zidan tersenyum dan menganggap Mei malu lalu segera memutus telpon. Dia tak pernah tau kalau di kamarnya, Mei jatuh pingsan.

Flashback off

Tak terasa mata Zidan berkaca-kaca. Ia memakai kacamatanya kembali-berusaha menutupi tangisnya. Terdengar helaan nafas Zidan.
"Kamu curang Mei, kamu tutup telpon kita padahal aku belum bilang kalau...hh..kalau aku juga mencintai kamu. Sangat Mei...” Dan Zidan membuka tutup kotak merah hati itu, di raihnya satu cincin yang akan Mei pakai jika dia menerima lamaran Zidan. Sebuah cincin platin putih dengan mata berlian yang cantik. Zidan tersenyum miris lalu meletakkan cincin tersebut di atas gundukkan makam.

"Mei, aku mungkin pacar paling jahat yang gak pernah tahu kalau kamu mengidap penyakit sialan itu! Maaf Mei, seandainnya aku tahu, aku pasti akan membawa kamu ke Jerman. Kita berobat di sana untuk kesembuhan kamu" lirih Zidan. Ia terdiam lama sebelum akhirnya mendongak menatap langit. Sudah beranjak senja dan dia harus pulang jika tak ingin lebih mengkhawatirkan teman sekosnya-Dicky.

"Mei, aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik Mei. Kamu harus tau, kalau aku selalu dan sangat menyayang kamu. Lebih dari diriku sendiri. Kamu benar, aku akan mengejar sarjanaku Mei, untukku, orang tuaku dan terutama untuk kamu Mei. Terimakasih untuk satu tahun tiga hari ini serta surat singkat itu. Kalau kamu ada waktu, jangan lupa datang ke mimpiku Mei. lovely." Zidan bangkit, mengusap sekilas makam Mei lalu mulai berjalan perlahan meninggalkan pemakaman.

Ia sadar betul sekarang apa yang harus ia kejar dan miliki-gelar sarjananya. Mei-nya benar, ia tak boleh malas kuliah lagi. Ia harus lulus dengan IP tertinggi dan mendapat gelar yang ia mau. Harus.
"Semua ku lakukan untuk kamu Mei " batin Zidan lalu membuka pintu mobilnya.

Ngomong-ngomong, siapa yang penasaran dengan surat Mei? Zidan mau kok bercerita sedikit tapi, setelah itu ia akan menyimpan baik-baik surat itu di semua barang pemberian Mei, yap, karna sekarang, Mei-nya hanya tinggal barang pemberian yang selalu ia kenang selamanya. Termasuk surat ini.

Dear Zidan Sayang...

Aku menulis surat ini dengan tangan bergetar dan sisa tenaga yang ku punya. Jadi, maafkan aku yah kalau kali ini kamu tak akan berkata "tulisanku kalah lagi denganmu Mei". Ya, karna kali ini tulisanku lebih mirip anak TK yang baru saja belajar menulis. Hihi.. Menggelikan yah?
Zidan bagaimana kabar kamu hari ini? Ku harap lebih baik dari semalam. Oh yah, happy anniv Zidan . Maaf yah, sepertinya aku memang ngga bisa dan gak akan pernah bisa datang menemui kamu. Tidak untuk hari ini, tidak untuk wisudamu dan tidak untuk selama-lamanya.
Zidan , semalam kepalaku terasa sakit sekali, tiba-tiba saja aku batuk dan mengeluarkan darah. Aku takut sekali Zidan , aku takut apa yang tak pernah ku inginkan akan terjadi, dan benar saja, aku terbangun siang ini di sebuah ruang ICU dengan mama yang terus menangis di sebelahku. Zidan, sesungguhnya aku benci sekali melihat mama menangis, terutama karna aku. Ya, karna penyakit sialan ini Zidan.
Zidan , sebelum helaan nafas ini tak terasa, sebelum mata ini memasuki labirin kegelapan, sebelum dunia tak ku sentuh lagi, aku ingin kamu tau,

Aku benar menyangyangi kamu. Lebih bahkan.Zidan, dari awal aku tau, kamu akan sukses dengan segudang mimpi kamu. Kamu pasti akan membuat orang tua mu bangga Zidan. Jadi, fokuslah! Raih semua itu dengan gelar mu kelak Zidan . Kamu gak perlu khawatir jika tak ada aku lagi yang membawelimu untuk skripsi atau mengsmsmu untuk ke kampus, atau menghubungimu untuk mengingatkan kamu ulangan, karna aku akan selalu melakukan itu selamanya dengan caraku sendiri kali ini.
Zidan sayang, maaf ya Mei-mu ini gak pernah berkata apa-apa. Aku hanya gak mau, kamu ngasianin aku. Lagipula, aku tahu kesembuhan itu mustahil untukku. Kesembuhanku adalah kematian. Kamu tahu Tumor otak kan  Zidan? Dia terus bersemayam di tubuhku hingga detik ini, tapi ku rasa tidak akan lama lagi dia akan pergi.

Zidan,berjanjilah kamu akan mewujudkan mimpi-mimpimu. Berjanjilah kamu akan mengukir kisah yang baru. Berjanjilah, kamu ngga akan ngelupain aku dan berjanjilah aku akan tetap punya tempat di hatimu sampai kapanpun.

Zidan, kali ini aku benar-benar lelah banget. Mataku terasa berat sekali, tanganku juga sudah bergetar hebat. Zidan, aku tidur dulu yah, meski takut akan labirin gelap, meski takut akan hilangnya helaan nafas, meski takut tak lagi menyentuh dunia, tapi aku lega sekali, aku akan sembuh. Sakit ini tak akan mengurungku lagi.
Zidan, jaga dirimu baik-baik sayang, terimakasih untuk satu tahun ini. Sebaiknya kamu cepat pulang dari taman itu karna aku tidak akan pernah datang. Selamat tinggal Zidan-ku, aku mencintai kamu...sangat Zidan.

 
Pada akhirnya, kematian selalu menyisakan luka untuk orang-orang yang di tinggalkannya. Tapi, kamu harus tahu. Raga boleh terkubur bumi, roh boleh terbawa mati, dunia boleh tak dikenal lagi, tapi cinta, akan selalu hidup di dalam hati.

The End...

 Author: Meliyana Aristya
Continue Reading...

Followers

Follow The Author