Selasa, 17 Desember 2013

Lelaki terhebat

Untuk pria paling hebat diseluruh dunia. Pria paling berjasa di jagad
raya. Kali ini aku menulis untukmu,
yang benar-benar ku cinta meski selama ini aku hanya diam tanpa kata. Bagaimana kabarmu? Bisakah kamu tersenyum lepas seperti biasanya ketika kita bahkan
terlalu jauh untuk tertawa bersama?

Ini cacatan yang ku peruntukan kepadamu, yang
benar-benar ku rindukan. Yang
baru berani ku ungkapkan lewat tulisan. Aku tahu sifat gengsi yang ada
dalam diriku juga sama sepertimu.
Dan akibatnya? Kita hanya bisa mengatakan biasa saja bahkan di detik ketika air mata menetes karena kerinduan. Aku tahu sikap cuek -yang
berusaha ku sembunyikan
lewat candaan- juga
mengikutimu. Wajar saja jika kita hidup dalam sandiwara. Pura-pura biasa
meskipun nyatanya tersiksa.

Untuk pria yang berulang tahun
di bulan ini. Aku merindukan tatapan
tegasmu yang berubah lembut
ketika menatapku.
Aku merindukan bahu tegap yang menjadi sandaran terbaik ketika aku sakit. Kita sama-sama tahu diantara semuanya aku memang yang
paling ringkih. Tapi aku lebih percaya pada suaramu yang
menguatkanku. Menghapus semua sakit yang tadinya
hendak menyiksa ku.
Aku tidak akan sakit disini, abang Karena aku tahu kamu
akan lebih sakit mendengarku sakit.

Untukmu, pria yang dengan bangga ku sebut Abang. Aku merindukan nada tegasmu ketika menugurku.
Aku rindu mencium pipi mu saat ku bergelut manja, aku rindu saat kita berdua beradu mulut dan mengadu ke mama, hey aku rindu saat kau selalu menganggu dan menggoda ku,
Mereka takut pada ekspresimu yang tegas itu, Abang
Iya mereka... kecuali aku. Karena ketika berbicara padaku, yang kulihat hanya senyuman. Karena semarah apapun,
tanganmu takkan kau biarkan untuk memukulku walaupun secuil apapun.

Untuk pria yang setiap hari letih
demi aku. Aku memikul kepercayaan mu dipunggungku. Dan aku tidak
membutuhkan apapun lagi. Karena aku berada disini, di
kota yang berbeda denganmu walaupun itu pulau yang sama,
Di tempat yang berjarak entah
berapa ratus kilo.
Hanya berbekal kepercayaan darimu.
Insya Allah akan ku jaga sekuat tenaga.
Karena mengecewakanmu
adalah hal terakhir yang ingin ku lakukan di dunia ini.

Untuk pria yang meneteskan keringat untukku. Ini tulisan pertamaku untukmu,
maksudku tulisan pertama yang berani ku publikasikan setelah -entah berapakali- sebelumnya
gengsi mengalahkan ku. Ini memang tulisan pertama
untukmu. Yang -Sayangnya- hanya berani ku sebarkan lewat dunia maya.
Yang belum berani ku ucapkan dengan lantang. Cukup tahu, Abang. Sekalipun aku
tak pernah benar-benar berkata ‘rindu’ sekalipun aku
jarang menelpon mu tapi sayangku tulus. Cukup hanya itu.

Dari adik gadis kecilmu, yang gengsi mengatakan rindu terhadap abangnya sendiri:'D
Continue Reading...

Jumat, 15 November 2013

Cinta sepihak

Banyak yang bilang lebih baik
mencintai dari pada dicintai. Aku
bahkan 'tim sukses' pendapat itu,
tapi semua memang tak semudah
berbicara dan tak semudah yang
dipikirkan. Manusia menjadi
sempurna karena akal, tapi
bukankah tak semua hal dapat
dijangkau oleh akal manusia?

Cinta sepihak. Aku cinta dan kamu
menolak. Haha JLEB! Tunggu,
jangan salah artikan kata
'menolak' karna aku tidak pernah
'mempersunting' mu untuk
menjadi kekasihku.

Nona 'Cinta sepihak' begitu
mereka memanggilku. Tapi aku
tak pernah berniat mendapatkan
Penghargaan di kategori 'Cinta
sepihak'. Haha tertawalah jika
memang kau menganggapnya
lucu. Tapi, datanglah kepadaku
jika sudah merasakan cinta
sepihak dan beritahu aku
bagaimana komentarmu tentang
itu.

Hey kamu, yang membiarkan
Cinta sepihak ini menjadi kokoh
dalam hatiku. Apa pernah
merasakan sakitnya terabaikan?
Apa pernah mengalami
tersiksanya cemburu saat kamu
sekedar tersenyum pada wanita
yang ku yakini menjadi pemilik
hatimu. Ingin tahu seperti apa
rasanya? Datangi aku, dan aku
akan bercerita.

Cinta Sepihak,. Temanku
menjulukimu 'Pemberi harapan
palsu'. Tak tahukah mereka
bahwa kau tak pernah
memberikan secercah
harapanpun untukku? tak
tahukah mereka bahwa kau
bahkan tak membiarkanku untuk
berharap lebih? atau bahkan
kaupun tidak tahu?

Cinta sepihak. Mengulang Teori
Trigonometri ala teman temanku.
Haha aku memang selalu menjadi
Sinus yang mencintai Cosinus,
walaupun kini Cosinus telah
menjadi orang yang berbeda. Dan
apa kamu tahu kamulah tuan
'Cosinus' itu? tapi memang,
Cosinus hanya mencintai Cosecan.
Hah sudah, jangan bahas hal itu
lagi, aku takut Trigonometri
marah padaku. Hahaha gila!

1+1= 2 itu sudah menjadi harga
mati. Tak bisa ditawar lagi. Seperti
itukah cintamu? Yang hanya
untuknya dan tak bisa pindah
haluan kepadaku walau sedikit?
Ck, cinta sepihak sampai kapan
harus terjadi? Bukankah kamu
punya mata untuk melihat
gelagatku saat bersama mu?
Bukankah kamu punya telinga
untuk mendengar curahanku
tentangmu? Dan bukankah kau
punya perasaan untuk menyadari
perasaanku untukmu? Walau
memang kau punya hati yang tak
bisa dipaksakan untukku, aku
tahu ini bukan Dongeng yang
selalu berakhir bahagia dan aku
cukup mengerti dengan istilah
'cinta tak bisa dipaksakan'. Haha
sudah Cinta sepihak memang
akan selamanya menjadi Cinta
sepihak... Dan mungkin akan
selamanya juga berakhir tragis

-apakah kau mengerti?-


 
Continue Reading...

PHP

Dear PHP...
Aku target yang berhasil kau
sakiti. Aku mawar yang berhasil
kau buat mati.
Aku sayap yang telah kau
patahkan, aku debu yang selalu
kau abaikan.

Aku orang yang menyukai harapan
namun kini kau hancurkan
dengan harapan.
Kau berikan harapan yang tinggi
lalu kau hempaskan aku begitu
saja? Tragis!
Semua hanya sebatas kata-kata
manis, hanya sebatas iming
iming! Ah betapa munafiknya.

Dear PHP...
Mengapa kamu mendekati jika
hanya untuk menyakiti?
Untuk apa kau beri harapan jika
akhirnya kau meninggalkan?
Untuk apa kau mengukir senyum
di bibirku jika akhirnya kau
ciptakan gerimis di mataku?

Dear PHP...
Mengapa hadir dengan senyuman
manis dan pergi menyisahkan
tangis?
Mengapa hadir dengan sejuta
ikrar lalu menghilang
meninggalkan kecewa?
Mengapa hadir dengan keceriaan
dan berlalu denngan kededihan?


Dear PHP...
Kini aku lemah, lemah karena
mengagumimu.
Aku memang sudah tertular, aku
terjangkit sebuah virus yang
mereka sebut 'GALAU'.

Dear PHP...
Aku tidak marah padamu, aku
tidak kecewa padamu dan aku
tidak membencimu.
Aku menikmati semua ini.
Menikmati perasaan yang
mencekat nafasku.
Aku menikmati semua ini.
Menikmati perih yang terasa di
setiap sudut hatiku.
Aku menikmati semua ini.
Menikmati setiap inci luka
dihatiku.

Selamat tinggal Pemberi Harapan
Palsu kesayanganku, semoga kau
bahagia.
Selamat tinggal Pemberi Harapan
Palsu yang tercinta, semoga tidak
ada lagi yang merasakan perih
sepertiku :)


Continue Reading...

Wanita terindah ku

Hai wanita paruh baya, yang telah
menjagaku. Masih ingatkah
padaku dan kelakuanku?

Hey wanita '22 Januari' ku,
akulah segumpal daging yang
kini berwujud manusia. Hey
Wanita yang ku sebut 'Mama' aku
anakmu, penghias senyummu
dan penyebab tangisanmu.

Mama ini bukan Hari ulang
tahunmu bukan pula '22 januari' mu, salahkah bila aku
bercerita tentang Mama? Sang
Wanita terindahku.

Mama, aku gadis kecil yang kau
jaga setiap malam, Aku gadis
yang kau selimuti kala dingin.
Mama, aku ingin seperti mama
yang tetap tersenyum saat semua
orang menyalahkanmu.
Mungkinkah?

Aku selalu ingin seperti mama,
tapi mama bilang aku harus lebih
baik dari mama. Bisakah? Aku
pikir yang terbaik adalah mama
dan yang tercinta hanyalah
mama. Mama, aku gadis kecil
yang dengan lirih meminta untuk
menjadi anakmu di Dunia dan
Akhirat.

Terimakasih Mama yang tak
pernah tidur saat anakmu yang
ringkih ini sakit. Walau masih
jelas terekam di benakku saat aku
menolak meminum obat dengan
alasan 'pahit'. Hahaha jika
mengingat hal itu kurasa Mama
pantas mendapat penghargaan
'Perawat tersabar'

mungkin mereka bertanya
'kenapa selalu menceritakan
tentang mama? Kenapa tak
pernah papa?' ya, karna cerita
mama adalah cerita terindah
dalam hidupku. Ya, karna
dihidupku lebih banyak Mama.
Dan karena mama adalah ibu
sekaligus Ayah bagiku. Mama
yang pagi hari selalu menyiapkan
sarapan untukku dan Mama juga
yang menjagaku. Hidupku
dipenuhi dengan mama mama
mama dan mama! Mama
menguras semua cinta dan rasa
kagumku.

Mama dosakah aku lebih
mencintaimu dari pada Papa yang
turut mengambil andil di
hidupku? Salahkah jika aku lebih
mencintai Novel cerita cintaku
dengan mama daripada cerpen
Bertamasya bersama Papa?

Mama, terimakasih telah
mengajariku untuk memulai
sesuatu dengan Berdo'a
meskipun sekarang anak mu ini
menjadi lebih pikun darimu untuk
sekedar melafadzkan 'Bismillah'

Terimakasih Mama, karna
membuatku bangga untuk keluar
dan Masuk mengucapkan
'Assamu Alaikum'. Aku berbeda
dengan mereka yang sekolah
hanya meminta uang dan
kemudian berlalu tanpa permisi,
karena aku dibiasakan mencium
punggung tangan dua orang
yang berperan penting dalam
hidupku. Mama dan Papa.

Terimakasih telah menjadi
Pahlawan seumur hidupku. Aku
bangga memanggilmu 'MAMA'♥


Continue Reading...

Jumat, 11 Oktober 2013

Ayahku (Bukan) Pembohong

                Dam kini tengah berada di ruang kerjanya. Ia sedang memperhatikan kedua anaknya Zas dan Qon yang tengah sibuk mendengar cerita-cerita ayahnya yang menurut Dam tidak dapat dipercaya, walau dulu ia sangat mencintai cerita-cerita ayahnya tersebut, tapi itu tidak berlaku lagi untuk sekarang. Dam berhenti mempercayai cerita-cerita ayahnya tersebut ketika umurnya dua puluh tahun. Dan kini, ia melihat ayahnya tengah bercerita cerita yang sama  kepada Zas dan Qon. Dam sangat membenci hal tersebut, ingin sekali ia menyela dan menghentikan cerita tersebut, tapi itu tidak dilakukan karena istrinya sudah memberikan kode untuk tidak mengusik kesenangan Zas dan Qon yang tengah bercerita dengan kakek mereka. Dam hanya tidak mau anak-anaknya hidup dalam cerita-cerita sang ayah, dia tidak mau membesarkan Zas dan Qon dengan cerita-cerita dusta seperti yang dilakukan sang ayah terhadapnya dulu. Mereka akan dibesarkan dengan kerja keras, bukan dengan cerita-cerita palsu.
                  Malam ini Dam begitu tercengang mendengar cerita ayah yang menceritakan tentang Si Nomor Sepuluh, yaitu seorang pemain bola terkenal kepada putra-putrinya. Bahkan ayah bercerita bahwa dua hari yang lalu ayah mendapat telepon dari Si Nomor Sepuluh. Zas dan Qon seakan tak percaya bahwa pemain bola favorit mereka menelepon sang kakek, namun dengan keahlian ayah berdongeng, ia dapat meyakinkan dua bocah kecil tersebut bahwa sang kakek benar-benar berbincang dengan sang pemain bola. Dan menceritakan dua monster kecil di rumah.
                 Mendengar cerita sang ayah, Dam kembali teringat masa kecilnya dulu, jauh sebelum dia membenci ayahnya dan menganggap cerita-cerita ayah adalah bohong.     
Tiga puluh tahun yang lalu.
                 Saat itu Dam berusia 10 tahun, Dam mempunyai bentuk tubuh yang lumayan tinggi, kulitnya hitam kecoklatan dan rambut keriting yang membuat Dam selalu menjadi bahan olokan teman-temannya di sekolah, dan Dam membenci nama panggilan tersebut. Namun, Jarjit teman sekelasnya sangat suka melakukan hal tersebut karena itu bisa membuat Dam marah.
                 Malam itu Dam tengah duduk di depan televisi berukuran kecil di rumahnya, ia sedang menunggu pertandingan bola dimulai. Dam tidak mau diejek pengecut lagi oleh teman-temannya lantaran ia tidak menonton bola. Saat pemain bola favoritnya masuk lapangan, Dam langsung berdiri dan berteriak menyebut EL CAPITANO ! EL PRINCE ! membuat ayahnya tertawa melihat tingkah laku anaknya tersebut.
                 Namun sayang, 2 x 45 menit berlalu dan klub kebanggaan Dam kalah, ia sangat kecewa karena sang Kapten kebanggaannya cedera. Ayah kemudian datang menasehati Dam agar tidak bersedih, karena bukan Dam satu-satunya orang yang kecewa atas kekalahan tersebut. Ayah terus berusaha menasehati Dam agar dia tak bersedih lagi, tapi Dam masih tetap meraung atas kekalahan tersebut. Ayah akhirnya mengeluarkan jurus andalannya yaitu bercerita. Ayah mulai bercerita bahwa ia sangat mengenal sang Kapten saat dia kecil.
                 Ayah Dam bercerita bahwa kapten kecil pernah dipanggil si keriting pengecut – sama seperti nama panggilan Dam. Ayah Dam mengetahui itu karena dulu dia tinggal di apartemen yang tak jauh dari tempat sang Kapten dan keluarganya tinggal. Ayah pertama kali berjumpa sang kapten saat umur kapten delapan tahun. Ayah sang Kapten mati dalam perang saudara di negeri asal mereka dan mulai saat itu kapten harus bekerja keras untuk melanjutkan hidupnya. Malam itu, karena begitu lapar ayah memesan makanan di restoran terkenal, ayah begitu marah karna pesanannya terlambat diantar. Setelah satu jam menunggu, seorang anak kecil datang membawa pesanan ayah. Anak kecil tesebut datang dengan basah kuyup karena hujan. Dan kalian tahu siapa anak kecil tersebut ? Ya, dia adalah sang Kapten kebanggaan Dam sekarang, yaitu EL CAPITANO ! Sang Kapten berdiri di depan pintu apartemen Ayah Dam dengan kedinginan.
                 Saat umurnya delapan tahun sang Kapten telah bekerja di restoran sup jamur tesebut, tubuhnya pendek, dan badannya kerempeng. Ayah Dam merasa iba saat melihat sang Kapten basah kuyup terkena hujan, maka dengan senang hati dia mengajak sang kapten untuk masuk dan bercerita panjang lebar tentang sang Kapten dan keluarganya. Mulai sejak itu Ayah Dam dan sang Kapten seperti menjadi saudara, saling mengerti satu sama lain dan berbagi cerita.
                 Saat sang Kapten tengah cedera seperti sekarang, Ayah Dam juga begitu yakin kalau sang Kapten akan terus bertanding pada pertandingan minggu depan, karena kapten itu bukan orang yang pantang menyerah.
                  Malam itu, hingga dua tahun ke depan, kisah tentang sang Kapten menyingkirkan cerita-cerita lain. Dam tidak tahu apakah cerita-cerita ayah bohong atau benar. Yang jelas Dam tidak boleh menceritakan cerita-cerita tersebut pada siapa pun termasuk ke ibunya. Dam begitu heran kenapa ayah tidak mengizinkan Dam menceritakan hal tersebut. Dalam hati kecilnya, Dam selalu bertanya, apakah ayah berbohong ?, tapi semua itu ditepisnya karena Dam percaya bahwa ayahnya orang yang jujur dan ayahnya bukan pembohong.
                 Keesokan harinya, Dam pergi ke sekolah dengan sepedanya. Dam telat setengan jam dan guru menghukumnya dengan berdiri di pojok kelas. Seperti biasa, Jarjit dan teman-temannya tertawa dan mengolok-olok Dam. Namun Dam tak menghiraukannya, karena hati Dam punya energy bahagia tak terbilang pagi itu. Taani adalah satu-satunya teman yang tak mengejek Dam. Taani begitu baik, cantik dan sempurna di mata Dam.
                 Pulang dari sekolah, Dam dijemputnya ayahnya dengan angkutan umum dan langsung menuju ke klub renang kota tersebut. Hari ini adalah hari penentuan apakah Dam layak untuk menjadi salah satu anggota klub renang atau tidak.

                 Pada gelombang pertama, Dam berhasil mencapai finish lebih dulu dari peserta yang laij, Namun saat gelombang terakhir, semua peserta diwajibkan untuk berenang selama mingkin dan hanya empat dari delapan peserta yang akan lolos. Dan Dam gagal melakukannya. Dam adalah orang terakhir yang tersingkir dari tes tersebut. Ayah Dam terus memberikan semangat kepada anaknya tersebut dan mengatakan bahwa Dam masih bisa ikut seleksi tahun depan.
                 Malam itu Ayah Dam kembali bercerita tentang sang kapten. Ayah bercerita bahwa sang Kapten dulu sangat ingin menjadi pemain bola yang hebat, dia selalu berlatih menendang bola kasti karena dia tak mempunyai uang untuk membeli bola sepak. Usia delapan tahun, sang Kapten ikut antrian  panjang seleksi pemain bola, namun sang kapten ditolak dengan alasan tak punya biaya dan tak cukup tinggi bahkan sebelum bisa mencoba.
                 Dam mulai memahami bahwa kegagalannya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sang Kapten, Dam sadar bahwa dia tidak boleh menyerah sampai di sini, dia sudah bertekad untuk mengikuti seleksi tahun depan.
                 Keesokan harinya, Jarjit kembali mengejek Dam hingga akhirnya mereka dihukum untuk membersihkan toilet sekolah. Saat  sedang membersihkan toilet, Taani datang dengan tergopoh-gopoh. Taani langsung memegang tangan Dam dan mengatakan bahwa dam diberikan kesempatan sekali lagi untuk mengulang seleksi renang oleh pelatih. Ternyata pelatih tersebut adalah Ayah Taani dan Taani lah yang meyakinkan pelatih bahwa Dam berhak mengulang, karena Taani sangat yakin kalau Dam akan menjadi perenang yang hebat.
                 Lima hari setelah kabar tersebut, Dam bergegas pergi ke klub renang untuk menyelesaikan kesempoatan keduanya. Tes kali ini adalah berenang selama satu jam tanpa berhenti. Pada menit-menit terakhir celana renang Dam melorot lepas, simpul karet pinggangnya terlepas, namun Dam tetap nekat untuk melanjutkan tes tersebut. Dan Dam berhasil menyelesaikan tesnya tersebut saat digital stopwatch menunjukkan satu jam nol menit tiga puluh detik. Dam sangat senang karena dia berhasil walaupun sebenarnya dia malu karena masalah celana dalam yang terlepas. Setelah semua penonton bubar, Jarjit mendatangi Dam dan mengejek dam seperti biasa. Dam akhirnya tahu bahwa celana renangnya yang melorot disebabkan oleh Jarjit. Ya Jarjit lah yang memotong simpul karet celana renang Dam. Sejak sore itu Dam memendam sakit hati pada Jarjit.
                 Ayah Dam kembali bercerita pada Zas dan Qon bahwa ternyata sang Kapten kebanggaan Dam adalah paman Si Nomor Sepuluh, idola Zas dan Qon saat ini. Zas dan Qon langsung bertanya pada kakek mereka, bagaimana sang kakek bisa tahu ? Ayah Dam hanya mengatakan bahwa sang kapten sendiri yang memberitahukannya.
                 Dam kembali teringat masa lalunya. Ayahnya ternyata benar, sang Kapten menjadi inspirasi terbesar Dam saat ini. Kini Dam menjadi seorang loper Koran. Ayahnya lah yang menyarankan Dam agar ia dapat memanfaatkan waktu senggangnya dengan berjualan koran seperti yang dilakukan sang Kapten saat dia masih kecil. Walau sebenarnya keluarga Dam tidak mengalami kekurangan materi.
                 Enam bulan berlalu, pelatih klub renang menyiapkan Dam dan Jarjit sebagai empat perenang di kelas estafet 4x100 meter, dan ini membuat Dam sedikit kecewa.
                 Saat sarapan bersama ayahnya, Dam bertanya, apakah dia bisa mengirimkan surat untuk sang Kapten ? Namun ayahnya hanya terbatuk pelan dan menggeleng. Sebulan terakhir masalah surat-surat itu membuat Ayah Dam sebal karena melihat Dam terus merengek meminta alamat sang Kapten atau setidaknya ayah mau mengirim surat tersebut untuk kapten.
                 Pagi itu, Dam memberanikan diri untuk pamit berangkat sekolah dan minta maaf kepada ayahnya atas kesalahan sebulan terakhir. Dam malah memberi satu amplop surat untuk ayahnya dan bukan untuk sang kapten yang selama ini ia impikan.
Isi suratnya adalah.
Dear Ayah                                                                                                                               Bagiku, sehebat apapun sang Kapten, maka ayah lebih hebat. Izinkanlah aku menulis surat untuk ayah, dan semoga ayah suka membacanya.
                 Ayah dulu pernah bilang padaku, “Jangan-jangan kau akan menjadi orang yang paling sedih sedunia jika malam ini tim sang Kapten kalah.” Ayah keliru. Malam imi, saat sendirian di kamar, saat menyadari bahwa ayah telah kurepotkan sebulan terakhir dengan permintaan itu, Ayah bahkan berteriak marah untuk pertama kalinya di rumah kita, aku jauh lebih sedih dibandingkan melihat tim sang Kapten kalah. Boleh jadi aku menjadi anak yang paling tidak berterima kasih di seluruh dunia.
                 Maafkan aku. Ayah benar, surat itu tidak penting. Sang Kapten tidak akan pernah punya waktu untuk membaca surat dariku. Taani di sekolah bilang, yang baru kusadari malam ini, pasilah ada ribuan surat yang tiba di kotak surat sang kapten, jadi bagaimana mungkin suratku akan mencolok perhatian dan mendapatkan balasan. Jangan-jangan hanya puluhan stafnya yang membalas, bukan dia sendiri. Ayah benar, Taani benar, jadi aku memutuskan mulai malam ini tidak akan membicarakan surat-surat itu lagi.
Sekali lagi maafkan aku.
Dari penggemar terbesar Ayah sepanjang masa,
Dam.
                 Ibu Dam meletakkan surat itu di atas meja, sesunggukan, menyentuh jemari suaminya, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. “ Kau telah mendidiknya menjadi anak yang berbeda sekali…Sungguh dia akan tumbuh besar dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”
                 Hari ini, Dam kembali berkelahi dengan Jarjit, tapi kali ini lawannya bukan hanya Jarjit, tapi juga empat kawannya. Dan jelas Dam lah yang kalah. Dam sering kali mendapat perlakuan seperti ini, mulai dari hari pertama ia sekolah Jarjit sudah terbiasa memukul Dam. Namun Dam hanya diam, karena dia tidak suka berkelahi, itu melanggar separuh cerita-cerita ayahnya. Hari itu Dam pulang dengan babak belur.
                 Esok harinya sekolah libur. Latihan klub renang dimulai sejak pagi. Dam dan Jarjit telah bersiap untuk memulai perlombaan renang antara mereka berdua, pagi itu hanya ada Dam dan Jarjit di klub renang. Jika Dam kalah, dia harus mengaku pada semua orang bahwa dia adalah seorang pengecut, dan jika Jarjit kalah, Jarjit lah yang harus berhenti mengejek Dam pengecut.
                 Semalam sebelum pertandingan dengan Jarjit, Dam mendapat telepon dari Taani. Taani menjelaskan pada Dam mengapa Jarjit sangat membenci Dam. Ternyata yang membuat Jarjit membenci Dam adalah karena setiap hari Jarjit selalu mendengar pujian-pujian terhadap Dam, mulai dari papanya yang selalu membanggakan Dam, bahkan sampai semua pembantu di rumah Jarjit membicarakan Dam dan ingin mengenal sosok Dam yang selalu dibanggakan di rumah tersebut. Dam hanya bisa menelan ludah mendengar cerita Taani, baginya ini sungguh tidak masuk akal.
                 Kembali ke pertandingan, pertandingannya amat sederhana. Siapa yang lebih dulu menyelesaikan jarak 4x100 meter, dialah yang menang. Pertandingan antara keduanya terus berlanjut, sepuluh meter lagi Dam akan berhasil memenangkan pertandingan, namun dibelakangnya, Jarjit terlihat meminta tolong pada Dam, Jarjit hamper mati tenggelam. Dam sangat panik dan langsung menolong Jarjit keluar dari kolam renang dan membawanya ke rumah sakit menggunakan angkutan umum. Saat di angkutan umum Dam memangku Jarjit dan mata mereka bersitatap sejenak. Saat itulah Dam tahu bahwa masalah mereka kini sudah selesai, tidak ada lagi sinar kebenciaan di mata Jarjit.
                 Malam itu, saat makan malam, Dam begitu terkejut karena mendapat surat yang diantar oleh seorang tukas pos. Dam terkejut bukan karena tukang pos mengantar surat tengah-tengah malam, tapi terlebih karena amplop surat itu datang dari seberang lautan dengan logo kebanggaan tim besar Dam. Tanpa Dam sadari, ternyata ayahnya mengambil surat-surat untuk sang kapten hang dulu dibuang Dam ke kotak sampah, dan ayahnya mengirimkan surat tersebut ke sang kapten.
                 Hanya Taani yang tahu semua cerita Ayah Dam tentang sang kapten dan tentang surat-surat tersebut. Dam begitu senang menceritakan semua itu pada Taani, sampai dia lupa bahwa ayahnya selalu berpesan bahwa itu hanya rahasia antara ayah dan anak. Kebahagiaan Dam bertambah besar karena dia dan Jarjit lolos menjadi wakil klub dalam lomba renang nasional.
                 Hari itu, Taani membuat Dam benar-benar marah, karena Taani menulis semua cerita-cerita Dam tentang sang kapten di buku diarynya dan lupa membawa pulang buku tersebut. Dan berita hebat pun datang, semua penghuni sekolah Dam kini tahu bahwa Ayah Dam mengenal sang kapten, dan mereka semua seakan berebut untuk diperkenalkan ke sang kapten. Setelah kejadian ini, Dam mulai menjaga jarak dengan Taani dan tidak menganggap Taani sebagai teman dekatnya lagi.
                 Hari penting bagi Dam dan anggota klub renang tiba. Hari ini Dam, Jarjit dan anggota klub renang akan berlomba memperebutkan juara nasional. Dam dan Jarjit serta dua anggota lain siap bertanding pada nomor estafet 4x100 meter dengan gaya bebas. Suara tembakan tanda start terdengar. Bagai elang Jarjit melompat ke dalam kolam. Jarjit adalah perenang dengan start terbaik di kejuaraan ini, dan Dam jelas juga jadi yang terbaik. Klub renang mereka berhasil membawa pulang piala kemenangan nasional pada nomor estafet 4x100 meter dan beberapa piala lainnya. Dan ini tidak terlepas dari semangat semua anggota klub dan persahabatan antara Dam dan Jarjit.
                 Sebagai hadiah atas kemenangan Dam, ayahnya kemudian membeli tiga tiket VIP untuk melihat langsung pertandingan persahabatan antara klub sepak bola kota mereka dengan klub sang kapten kebanggaan Dam. Selama hidupnya, baru kali ini ayahnya membeli benda paling mahal secara tunai. Malam itu Dam langsung memeluk erat ayah dan ibunya dan mengucapkan terima kasih. Saat menonton pertandingan tersebut, Dam dan penonton lainnya begitu semangat memberi dukungan. Peluit panjang kemudian dibunyikan, dan sang Kapten kebanggaan berhasil mencetak dua gol.Saat akan keluar dari lapangan dan kembali ke ruang ganti, sang Kapten sudah begitu dekat dengan Dam, Dam berencana akan memberikan kausnya untuk ditanda tangani sang Kapten. Tapi ayahnya langsung menarik tangan Dam dan mengajaknya pulang tanpa memberi kesempatan bagu Dam untuk melawan. Dam begitu kecewa kepada ayahnya. Sejak pertandingan persahabatan itu, cerita tentang sang Kapten ditutup dari pembicaraan Dam dan ayahnya.
                 Tiga tahun melesat dengan cepat, usia Dam sekarang lima belas tahun. Dia dan teman-temannya sudah lulus SMP dan ayahnya mengirim Dam ke sekolah berasrama antah berantah di uar kota yang sebelumnya tidak pernah didengar Dam. Nama asrama yang dimaksud Dam adalah Akademi Gajah. Di asrama ini lah Dam mendapat banyak teman baru. Selama tiga tahun di Akademi Gajah, Dam kehilangan kesibukan menjadi loper koran, kehilangan malam-malam bersama ibu dan di atas segalanya, Dam kehilangan cerita-cerita ayahnya yang menyenangkan. Cerita-cerita yang bisa memunculkan rasa tenteram, mengusir rasa sedih.
                 Selama tiga tahun di Akademi Gajah, Dam juga mendapat banyak pengalaman baru, misalnya dihukum menunggui apel jatuh bersama Retro teman sekelasnya, dihukum membereskan dapur asrama, belajar memanah walau sasarannya selalu meleset, dihukum membereskan pustaka selama sebulan penuh dan kegiatan yang sangat di sukai Dam adalah menggambar sketsa bangunan sekolah dan Akademi Gajah.
                 Saat tahun kedua di Akademi Gajah, Dam dan Retro dihukum membereskan pustaka asrama. Ini adalah hukuman yang diharapkan oleh Dam, karena dengan berada di gedung pustaka dia bisa banyak membaca buku dan terlebih karena dia dapat menggambar sketsagedung pustaka tersebut. Dan Retro selalu saja mempersoalkan tentang hukuman ini.
                 Hingga hari ke dua puluh enam, Retro mulai terbiasa dengan kegiatan barunya dan tengah menikmati buku bacaannya, tiba-tiba Dam menarik buku yang tengah dibaca oleh Retro. Sebuah buku tua yang judul depannya tak lagi asing baginya. Dam kemudian membaca beberapa paragraf dan beberapa halaman buku tersebut. Semua detail cerita buku tersebut sama persis dengan cerita pengalaman hidup ayahnya. Di dalam buku tua tersebut menceritakan cerita tentang Apel Emas Lembah Bukhara seperti yang diceritakan ayahnya. Cerita ini adalah salah satu cerita favorit Dam saat masih kecil. Lembah Bukhara adalah tempat pemberhentian pertama ayahnya setelah enam bulan meninggalkan kota mereka, pergi berpetualang. Itulah yang diceritakan ayahnya kepada Dam. Tapi kenapa sekarang cerita tersebut ada dalam sebuah buku dogeng ? Kenapa cerita ayah sama persis dengan yang ada di dalam buku ? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di telinga Dam sekarang.
                 Dam kemudian mencari buku tua lainnya, dia berharap dapat menemukan lebih banyak buku tua yang ceritanya sama persis dengan cerita ayahnya. Dan benar saja, Dam menemukan sebuah buku tua lainnya berjudul Suku Penguasa Angin. Isinya sama Persis seperti cerita ayahnya. Inilah cerita petualangan Ayah Dam berikutnya.
                 Saat berpetualang Ayah Dam kehabisan bekal dan telah sampai di sebuah padang pengembalaan luas di sebelah utara. Suatu malam kaki ayah Dam gemetar, matanya berkunang-kunang, hanya soal waktu semua akan berakhir. Penat fisik juga penat hati, bercampur aduk. Saat itulah terdengar seruan-seruan kencang. Derap lari ribuan ternak. Tetapi, mata Ayah Dam mengerjap-ngerjap, dia begitu kaget karena penggembala tidak datang dengan menaiki kuda, tapi mereka mengendarai layang-layang raksasa, terbang di atas kepala Ayah Dam. Merekalah yang disebut dengan Suku Penguasa Angin. Saat Ayah Dam akan pergi melanjutkan perjalanan pulangnya, dia diberikan hadiah istimewa oleh Kepala Suku Penguasa Angin yang biasa dipanggil dengan Tutekong. Tutekong mengantar Ayah Dam ke titik terluar wilayah penggembalaan mereka dengan menaiki laying-layang legendaris, diiringi belasan pengembala lainnya. Itu pengalaman yang menakjubkan bagi Ayah Dam. Melihat mereka berseru-seru menggiring ternak dari atas langit. Tetukong membuat laying-layang berputar, meliuk, bahkan bersalto di atas awan.
                 Tahun kedua di Akademi Gajah telah dilewati oleh Dam. Saat liburan, seperti biasa Dam akan pulang ke rumahnya, bertemu ayah dan ibunya. Saat sampai di rumah, Dam begitu sedih karena ibunya sedang sakit. Hingga libur panjang hampir usai, Dam menghabiskan waktu dengan menemani ibunya, menceritakan banyak hal tentang Akademi Gajah dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Malam sebelum liburan berakhir, mereka merayakan ulang tahun ibu di teras rumah. Dam memberi ibunya kartu ucapan sebagai kado. Dan ibunya sangat terharu dan berkata bahwa itu kado terindah yang pernah diterimanya. Kartu itu bertuliskan “Selamat ulang tahun, Ibu. Kau wanita nomor satu dalam hidupku”.
                 Di malam itu juga, Dam bertanya pada ayahnya, apakah Apel Emas Lembah Bukhara sungguhan ? Apakah ayah pernah membaca buku tentang dongeng-dongeng itu ? Mendengar Dam bertanya seperti itu, ayahnya sangat tersinggung, dia kecewa karena Dam menganggap cerita-ceritanya adalah bohong. Padahal semua orang tahu bahwa ayahnya tak pernah berbohong. Saat mengantar Dam ke stasiun kereta keesokan paginya, Dam dan ayahnya masih terlihat canggung satu sama lain karena peristiwa semalam.
                 Tahun ketiga di Akademi Gajah. Dam mulai disibukkan dengan kegiatan barunya, yaitu membantu perkampungan dekat Akademi Gajah. Setiap soere, Dam membantu menangkap ikan, dan pekerjaan lainnya. Dam juga meminta izin kepada kepala sekolah untuk membuka kesempatan bekerja untuk murid lainnya, dan kepala sekolah menyetujui usulan Dam. Setelah sebulan bekerja, Dam menyisihkan gajinya tersebut untuk biaya perawatan ibunya yang sakit, dan jumlahnya akan semakin bertambah selama Dam rajin bekerja.
Ruang kerja Dam, hari ini.
                 Dam marah besar, karena dia mendapatkan surat dari sekolah Zas dan Qon. Isinya adalah bahwa orang tua Zas dan Qon dipanggil kepala sekolah, karena sudah dua hari berturut-turut dua anaknya bolos sekolah. Hari pertama mereka pulang lebih cepat. Hari kedua mereka bahkan tidak masuk sekolah dari pagi. Dam dengan tidak sabar menunggu kedua anaknya pulang dan langsung bertanya apa alasan mereka bolos sekolah. Istri Dam terus menasehati dam agar dia tidak marah-marah kepada anak-anak. Ternyata selama bolos sekolah Zas dan Qon pergi ke perpustakaan kota untuk mencari tahu tentang cerita-cerita sang kakek.
                 Malam itu juga, dam langsung berbicara dengan ayahnya tentang kenakalan Zas dan Qon, tentang bolos sekolah untuk mencari tahu kebenaran dari cerita-cerita sang kakek. Mereka memeriksa seluruh daftar buku, mengelilingi semua rak, membaca setiap bab. Mereka bolos tiga hari untuk memenuhi rasa ingin tahu apakah kakek tersayang mereka sedang berbohong atau sungguhan saat menceritakan petualangan hebat masa mudanya. Dam memohon pada ayahnya untuk berhenti bercerita pada Zas dan Qon dan menjelaskan pada mereka bahwa cerita-cerita itu bohong. Tapi Ayah Dam tetap bilang bahwa cerita itu sama sekali bukan rekayasanya.
                 Saat Dam berada di ruang kerjanya, Zas masuk menemui Dam dan meminta maaf karena sudah membuat papanya marah. Dan memberikan sebuah surat untuk Dam, yang isinya.
Dear Papa,
                 Tiga hari ini kami dihukum di sekolah, disuruh menulis “Kami janji tidak akan bolos sekolah lagi” sebanyak sepuluh lembar penuh kertas folio dengan huruf kecil-kecil setiap hari. Tangan Zas seperti kebas, pegal, gemas, padahal baru di halaman delapan. Qon bahkan menangis, meski jumlah halamannya separuh dari Zas. Dia belum pandai menulis, dan ibu guru galak menyuruhnya mengulang jika tulisannya tidak rapi.
                 Tetapi hukuman di sekolah tidak ada apa-apanya dibandingkan hukuman yang Papa berikan. Jangan cuekin kami lagi ya, Pa. Tidak mengapa Zas dan Qon disuruh masuk kamar, dilarang main selama seminggu, disuruh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, tapi jangan cuekin kami lagi. Qon semalam bahkan bertanya, apakah Papa membencinya? Apakah Qon harus pergi dari rumah? Zas bingung menjawabnya. Lagi pula kalau Qon harus pergi, belum tentu juga ada keluarga yang mau ditumpangi ya, Pa. Dia kan paling malas bangun pagi, makan paling banyak, dan paling berisik dalam rumah. Jadi karena Zas tidak bisa menjawabnya, dan Qon terus menangis  di kamar, Zas akhirnya memutuskan menulis surat saja ke Papa.
                 Ini semua salah Zas. Seharusnya Zas mendengarkan kalimat Papa, tidak penting cerita Kakek itu bohong atau sungguhan. Papa benar, anggap saja seperti menonton film yang seru. Sungguh maafkan Zas. Tidak mengapa Papa marah pasa Zas, tapi Papa tidak boleh marah pada Qon, juga tidak boleh marah pada Kakek, tidak boleh marah pada Mama, semuanya salah Zas. Itu ide Zas pergi ke perpustakaan kota. Kami tidak akan bolos lagi, Pa. Janji.
                 Zas dan Qon, penggemar Papa nomor satu.
Dam sangat terharu membaca surat dari anaknya tersebut.
Ruang makan Akademi Gajah
                 Saat sedang makan, petugas senior meneriakkan nama Dam di pintu ruang makan. Keras sekali. Dam ragu-ragu berdiri, petugas senior itu mengatakan bahwa Dam ditunggu kepala sekolah di ruangannya. Dam begitu takut, karena dia berfikir bahwa kepala sekolah mengeluarkannya dari Akademi Gajah, karena malam sebelumnya Dam melakukan kesalah besar. Yaitu ikut berburu dengan tim pemburu sekolah. Padahal tiga minggu lagi ujian lulusan akan dilaksanakan. Kepanikan Dam bertambah saat kepala sekolah mengatakan “Kau harus segera berkemas, Dam.” Dam langsung mengigit bibir. Itu memang kejahatan nomor satu, ikut berburu ke dalam hutan tanpa izin, membahayakan semua anggota lain. Tamat sudah tiga tahun luar biasaku di Akademi Gajah. Pikir Dam dalam hatinya. Ternyata pemikiran Dam salah. Maksud kepala sekolah menyuruh Dam segera pulang bukan karena dia dikeluarkan tetap karena Ibu Dam sakit keras, dan tadi malam dibawa ke rumah sakit.
                 Dam berlari melintasi lorong, menaiki anak tangga, membongkar koper besar, memindahkan uang yang dia kumpulkan setahun terakhir ke dalam ransel dan langsung berlari meninggalkan Akademi Gajah. Sepanjang malam Dam bergumam gelisah. Mendesahkan doa ke langit-langit gerbong dan berdoa agar ibunya sembuh. Saat sampai di rumah sakit, Dam begitu sedih melihat ibunya terbaring lemah di ranjang. Kepalanya sudah digunduli. Selang infuse dan belalai menghujam atas-bawah, kiri-kanan. Ibu belum siuman sejak jatuh pingsan kemarin sore. Dokter bilang kondisinya stabil. Itu kabar yang didapat Dam dari ayahnya. Ayah juga bilang kalau ibu akan sembuh dan akan baik-baik saja. Tapi Ayah Dam bohong. Saat Dam selesai menumpang mandi di toilet rumah sakit. Ibu dibawa kembali ke ruang gawat darurat. Dokter bilang komplikasinya menyebar ke mana-mana.
                 Kenapa Ayah tak pernah cerita setahun lalu kondisi ibu memburuk? Itu pertanyaan pertama Dam saat dokter meninggalakan mereka. Ayahnya hanya diam, kemudian bilang kalau mereka tidak ingin membuat Dam cemas dan mengganggu sekolah Dam. Dam menyergah dan mengatakan bahwa seharusnya ibunya menjalani perawatan panjang itu, dan ayahnya hanya bilang kalau itu semua percuma. Malam itu terjadi perdebatan panjang antara Dam dan ayahnya.
                 Ayah menceritakan kepada Dam bahwa dua puluh tahun yang lalu, saat ayah dan ibu Dam baru saja menikah, si Raja Tidur bilang bahwa semua sakit ada obatnya kecuali tua. Sayangnya,pengetahuan medis saat itu belum cukup memadai untuk mengobati kelainan bawaan Ibu Dam. Si Raja Tidur adalah ayah angkat Ayah Dam, dia mempunyai empat gelar professor dan delapan bidang ilmu pengetahuan yang dikuasainya, termasuk ilmu kedokteran. Si Raja tidur bilang bahwa tidak ada obat yang dapat membuat ibu sembuh. Satu-satunya yang membuat Ibu Dam bertahan adalah rasa bahagianya. Semakin bahagia dirinya, semakin lama dia bertahan. Dua puluh tahun Ibu Dam bertahan dalam sakitnya. Ibu Dam benar-benar bahagia dua puluh tahun terakhir.
            Tapi Dam membantah. Dam tahu ibu tak pernah bahagia selama dua puluh tahun terakhir. Dua puluh tahun ibunya hidup apa adanya. Sehat empat bulan, jatuh sakit satu-dua minggu. Dam tidak pernah melihat ibunya tertawa bahagia, kecuali tersenyum atau menangis terharu. Ibunya tidak punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat mengurus rumah. Kehidupan ibunya hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia, tetapi ibu tidak pernah mengeluh. Itulah yang dia tahu tentang kehidupan ibunya.
            Ayah Dam masih tetap pada pada keyakinannya bahwa definisi kebahagian Ibu Dam berbeda dengan kebanyakan orang. Ayah Dam bilang bahwa definisi kebahagian ibu bukan tentang uang atau jabatan, tapi kebahagian ibu adalah dengan melihat Dam tumbuh dewasa dan sukses serta melihat keluarga kecilnya bahagia.
            Dam berteriak pada ayahnya, Dam bilang pada ayahnya bahwa dia tidak pernah percaya lagi cerita-cerita ayah. Si Raja Tidur, apel emas, layang-layang raksasa, itu hanya ada di buku cerita. Dan ayah hanya mengarang-ngarangnya dari sana. Ayah Dam langsung menatap anaknya setengah tidak percaya. Kalimat Dam telah menyinggung harga dirinya dan menyakitinya. Dam kemudian beranjak berdiri, merapat ke jendela operasi. Di dalam sana, tubuh ibunya terlihat berontak dan dokter bergegas melakukan sesuatu. Tapi usaha mereka sia-sia. Ibu Dam tak dapat diselamatkan.
            Saat itu Dam berdiri dengan seluruh kesedihan di hatinya. Tanah pekuburan lengang, para pelayat sudah pulang, termasuk keluarga besar Jarjit, walikota, pelatih, kepala sekolah SMP Dam dulu, bos loper koran, kerabat, tetangga dan kenalan yang sebagian besar tidak dikenali Dam. Satu persatu mereka membentuk antrean panjang menyalami Dam dan ayahnya.
“Belum pernah ada pemakaman seramai ini.” bisik salah satu pelayat
“Kau benar, sepertinya seluruh kota berkumpul.” Rekannya mengangguk
            Dam tak peduli, satu orang pelayat atau seribu orang yang datang, itu semua tetap tidak mengubah kesedihannya.
            Saat Dam mulai sedikit lapang dari sesak kesedihan, mulai bisa keluar rumah setelah berhari-hari mengurung diri, Dam menumpang kereta kembali ke Akademi Gajah, ujian kelulusan sudah selesai berminggu-minggu lalu. Dam tidak sempat mengikuti ujian kelulusan di Akademi Gajah. Halaman rmput asrama lengang, libur panjang, murid-murid pulang.
Dam menemui kepala sekolah. Dia begitu terkejut saat kepala sekolah memberikan ijazah kelulusan untuk Dam. Dam lulus dari Akademi Gajah. Nilai sempurna untuk kelas menggambar dan pengetahuan alam. Nilai rata-rata untuk enam pelajaran lainnya, serta nilai cukup untuk memanah, dan satu lagi, dua penghargaan tertinggi dari Akademi Gajah. Satu, untuk pencapaian dalam mengembangkan hubungan baik dengan penduduk perkampungan. Dua, untuk pencapaian dalam mengembangkan pemahaman hidup yang bersahaja. Itu yang dijelaskan oleh kepala sekolah.
“Tetapi aku tidak mengikuti satu ujian pun. Bagaimana mungkin aku dianggap lulus?” Dam bertanya
“Kau seperti melupakan betapa luar biasanya sekolah di Akademi Gajah, Dam,” Kepala sekolah berkata takzim. “Kami tidak mendidik kalian sekedar mendapatkan nilai di atas kertas. Seluruh kehidupan kalian tiga tahu terakhir, dua puluh empat jam, baik di kelas ataupun tidak adalah proses pendidikan  itu sendiri. Itulah penilain yang sebenar-benarnya. Kau lulus dengan baik, Dam.”
            Dam terdiam, memeriksa map biru pemberian kepala sekolah. Namanya tertulis indah dan rapi di atas selembar ijazah, juga dua penghargaan tertinggi yang dia dapatkan. Satu amplop putih terjatuh dari map.
“Ah ya, aku lupa, itu surat pengantar dari Akademi Gajah. Besok lusa kalau kau ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, kau berikan surat itu ke mereka. Ssttt, aku beritahu kau rahasia kecil sekolah kebanggaan kita ini, bahkan universitas ternama di seluruh dunia tidak bisa mengabaikan surat pengantar Akademi Gajah.” Kepala sekolah tersenyum
Nah, Dam, selamat melanjutkan hidup. Apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tida peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biarkan waktu yang mnjadi obat. Kau akan menemukan petualangan hebat berikutnya di luar sana.” Kepala sekolah berkata dengan bijaksana.
            Dan apa yang dikatakan kepala sekolah benar adanya. Dam diterima masuk universitas dengan jurusan arsitektur, itu jurusan terbaik di seluruh negeri. Padahal Dam terlambat mendaftar dan terlambat masuk hampir satu bulan. Dam diterima, bahkan tanpa melewati satu soal ujian pun. Dam hanya menyerahkan selembar surat pengantar dari Asrama Gajah, dan Dam resmi menjadi seorang mahasiswa arsitektur. Menurut Dam, sekolah di Akademi Gajah sama tidak masuk akalnya dibanding cerita tentang apel emas atau Suku Penguasa Angin.
            Uang yang ditabung Dam setahun terakhir digunakannya untuk biaya kuliah dan menyewa flat kecil dekat kampus. Dam memutuskan meninggalkan rumah agar lebih dekat dengan kampusnya. Ayahnya hanya menapat datar saat Dam berpamitan. Sejak hari itu dam jarang bertemu dengan ayahnya. Hanya sesekali saat rasa rindu pada ibunya muncul, Dam menyempatkan diri singgah. Itupun hanya sebentar,
            Waktu berjalan cepat. Dua tahun Dam di tempat baru, kehidupan baru, dan mungkin kesendirian yang baru. Hari itu Dam pergi ke gedung jurusan ilmu pasti, Dam akan mengikutsertakan denah gambarnya dalam lomba desain. Terlebih dulu, Dam menacri makan di kantin jurusan tersebut. Tak disangka dan tak diduga, ternyata di sana Dam bertemu dengan Taani, sahabatnya dulu.
“Kau Dam, kan ?” Taani menyeringai lebar saat berpapasan dengan Dam
Dam termangu melihat Taani
Kau pasti Dam.” Taani tertawa.” Tidak ada mahasiswa yang akan ringan tangan memberikan antrean pada selusin perempuan yang ketawa-ketiwi, hanya tersenyum saat petugas kantin bilang tidak ada kembalian, atau sekedar menyeringai datar ketika mejanya diserobot. Tidak ada orang dengan kebaikan sedetail itu. Kau pasti Dam.” Taani menjelaskan dengan penuh semangat.
            Dalam hitungan menit, Dam dan Taani kembali menjadi teman dekat. Taani sekarang kuliah di jurisan biologi. Dia ingin jadi florist dan punya toko bunga. Mereka juga menceritakan teman-teman lama. Johan sekarang kuliah di kota lain, tapi Taani lupa Johan ambil jurusan apa. Jarjit katanya satu kampus dengan anak-anak presiden seluruh dunia. Dan Papa Taani sudah berhenti melatih, dia pensiun sekarang. Klub renang Dam dulu tetap menjaga reputasi hebatnya. Nomor estafet yang dimenangkan Dam dulu tidak pernah terkalahkan enam tahun terakhir. Taani dan Dam berpisah saat Dam harus segera menyerahkan selusin sketsa desainnya.
            Malam itu, malam festival kembang api. Dam diundang ke rumah Taani, untuk acara makan malam keluarga. Mereka ingin bertemu Dam. Sudah hampir dua tahun Dam mengenal kembali Taani. Kuliah Dam di jurusan arsitektur memasuki tahun-tahun terakhir. Taani bahkan sudah menyelesaikan tugas akhirnya, lulus lebih cepat dibanding siapa pun. Keluarga kecil Taani yang datang malam itu begitu ramai. Keluarga kecil yang begitu ramai, itu yang dipikirkan Dam saat itu. Malam itu Dam menjadi bahan gurauan keluarga itu sepanjang makan malam. Taani pandai membuat Dam akrab dengan keluarganya. Saat beberapa anggota keluarga pamit pulang. Dam berdiri menatap langit yang terang oleh kembang api. Papa Taani ikut berdiri di samping Dam
“Apa kabar ayah kau, Dam?” Papa Taani bertanya.
“Baik, pelatih. Ayah baik dan sehat,” Dam menjawab.
Papa Taani tertawa dan menepuk buku Dam. “Kau tidak akan terus memanggilku pelatih, bukan ?”
Dam menggeleng patah-patah.
“Sampaikan salamku padanya, Dam. Aku senang sekali saat tahu putra ayah kau yang datang makan malam bersama kami. Ini kehormatan. Kami percaya, kau akan menjaga Taani dengan baik.”
            Mungkin karena perasaan canggung, grogi, atau entalah, Dam jadi mangabaikan betapa menyenangkan melihat wajah platih saat mengatakan kalimat itu. Bahkan setahun kemudian saat pernikahan Dam dan Taani, Dam tidak perlu melamar Taani.
            Sebulan setelah makan malam dengan keluarga Taani, Dam membawa Taani menemui ayahnya. Malam itu, setelah sekian lama menolak permintaan Taani untuk berjumpa dengan ayahnya, Dam tidak bisa menghindar lagi. Taani begitu bersemangat ingin berjumpa dengan calon mertuanya. Umur Ayah Dam enam pluh tahun saat Dam membawa calon istrinya ke rumah. Rambut ayahnya sekarang separuh beruban dan separuhnya lagi rontok. Sejak Ibu Dam meninggal empat tahun lalu, kondisi fisik ayah berubah drastis. Tubuhnya lebih kurus. Raut mukanya lebih redup.
Makam malam itu tidak semenakutkan yang Dam duga. Taani menyenangkan, memperlakukan Ayah Dam dengan hormat. Dan ayah bersikap bijak. Malam itu saat Dam akan mengantar Taani pulang dan pamit untuk langsung ke flat sewaannya. Ayah Dam mengantar mereka berdua sampai ke pintu rumah.
Apakah ayah boleh memelukmu, Dam?” Ayah Dam bertanya.
Dam langsung salah tingkah. Baiklah, tidak ada salahnya memberi ayah satu pelukan. Pikir Dam. Terakhir kali Dam memeluk ayahnya lima-enam tahun lalu atau mungkin lebih dari itu.
Dam keliru.
            Dam pikir, surat maaf dari Zas dan Qon sudah menyelesaikan masalah. Ayahnya juga belakangan berkurang drastis bercerita pada Zas dan Qon. Sebulan berlalu, Dam tidak mengungkit lagi pembicaraan malam-malam setelah surat panggilan dari sekolah Zas dan Qon. Zas dan Qon kembali ke rutinitas sekolah. Taani sibuk dengan toko bunganya.
            Saat pulang ke rumah, Dam melihat Zas dan Qon sedang asyik membuka laptop kerja Dam. Mereka sudah terbiasa memankan laptop kerja ayahnya, tapi malam itu Dam begitu marah  karena melihat Zas tengah mencari entri nama Akademi Gajah di kolom mesin pencari dunia maya, di bawahnya tertulis, tidak ditemukan laman yang cocok dengan kata di atas.
            Dam sangat marah karena dia sudah bilang ke ayahnya untuk menghentikan cerita-cerita itu. Dan tidak ada lagi yang boleh melanggar peraturan di rumah tersebut. Saat Dam bertanya pada kedua anaknya, dari mana mereka tahu Akademi Gajah, Zas dan Qon mengatakan dengan takut-takut bahwa mereka tahu itu dari cerita kakek. Dam juga begitu marah saat tahu kalau ayahnya juga menceritakan cerita tentang ibunya. Bercerita pada Zas dan Qon bahwa dulu nenek mereka adalah seorang bintang televisi. Saat itu emosi Dam langsung meledak. Dengan cepat dia menyuruh Zas dan Qon untuk masuk kamar. Semenara Zas dan Qon terus memohon kepada ayah mereka untuk tidak marah pada sang kakek.
            Dam teringat masa lalunya. Dulu dia juga marah. Hari itu presentasi akhir kelulusan Dam. Taani menemaninya menunggu di luar ruang sidang. Saat itu Taani menceritakan cerita Ayah Dam tentang ibunya. Taani bilang bahwa dulu Ibu Dam adalah seorang bintang televisi terkenal, karier ibu menanjak, sibuk siang-malam, hingga Ibu Dam divonis menderita penyakit kelainan bawaan itu, cepat lelah, mudah jatuh sakit. Tapi Dam tidak percaya dengan cerita ayahnya yang disampaikan kepada Taani. Coba pikir pakai logika. Kalau ibu dulu bintang televisi terkenal, kenapa dia hanya menjadi ibu rumah tangga, mengurus keluarga tanpa pembantu dan kenapa juga ibu mau menikah dengan ayah yang hanya seorang pegawai negeri rendah yang terlalu jujur dan sederhana.
            Mendengar perkataan Dam itu, Taani begitu marah dan langsung pergi meninggalkan Dam. Gara-gara permasalahan itu Dam dan Taani bertengkar serius. Berhari-hari Taani menolak berbicara dan bertemu dengan Dam. Saat Dam berkunjung ke rumah Taani untuk meminta maaf, dia selalu membawa bunga untuk Taani. Hari itu Dam berhasil membujuk Taani untuk keluar kamar dan menyelesaikan permasalahan antara mereka.
            Enam bulan kemudian, Dam dan Taani menikah. Karena Taani memaksa tempat pernikahan dipindahkan ke rumah Ayah Dam, maka acara dilaksanakan di sana. Seluruh kota seperti berkumpul di rumah kecil mereka. Dua tahun kemudian, Zas putra pertama Dam dan Taani lahir. Toko bunga Taani berkembang pesat. Ia punya kebun di lereng bukit kota. Karier Dam sebagai seorang arsitek juga berkembang pesat. Desain terakhir Dam untuk sebuah bangunan teater mewah mengundang perhatian banyak orang. Mereka sibuk bertanya dari mana ide desain secemerlang itu. Sebenarnya, meskipun menbenci cerita-cerita ayahnya, Dam selalu menjadikannya sumber inspirasi tidak terbatas. Cerita-cerita yang didenganya saat kanak-kanak itu berubah menjadi imajinasi tentang bangunan.
            Setelah dua tahun menikah dengan Taani, Taani mulai meminta kepada Dam untuk mengizinkan Ayah Dam tinggal bersama mereka dengan alasan bahwa ayah sudah terlalu tua untuk tinggal sendiri di rumah sederhananya. Dua tahun berselang dari kelahiran Zas, Taani dan Dam kembali dianugerahkan seorang bayi perempuan. Putri mereka itu diberi nama Qon. Waktu berjalan cepat, kini usia Zas sudah enam tahun dan usia Qon empat tahun. Toko bunga Taani bertambah menjadi dua. Dan Dam berhasil menyelesaikan studinya tentang teknik fisika dan elektronika. Taaninberkali-kali mengajak Zas dan Qon  mengunjungi kakek mereka, membiarkan ayahnya bercengkerama dengan cucu-cucu menggemaskan. Semua itu dilakukan Taani sebagai usahanya untuk meyakinkan Ayah Dam agar mau tinggal bersama mereka. Dan tepat setahun kemudian ayah siap untuk meninggalkan rumah kecil itu dan pindah ke rumah Dam dan Taani.
“Aku tidak akan membiarkan ayah meracuni Zas dan Qon dengan cerita-cerita bohongnya,” Dam berbicara dengan tegas.
“Tidak bisakah kau bicara baik-baik, Dam?” Taani melotot. “Mari kita mulai pembicaraan dengan menyingkirkan lebih dulu cerita itu bohong atau tidak. Ada ratusan dogeng ayah yang tidak mengungkit-ungkit apakah dia terlibat dalam cerita. Toki si Kelinci Nakal misalnya. Itu dogeng yang baik. Zas dan Qon senang medengarnya.”
“Zas dan Qon sudah?Meraka sudah  mendengarnya ?”
“Saat mereka mengunjungi ayah seminggu lalu. Saat pulang, Qon bahkan memegang tanganku. Dengan mata bekerjap-kerjap, Qon berkata,’Qon sayang Mama. Qon tidak akan nakal lagi seperti Toki si Kelinci.’” Jelas Taani dengan mata berkaca-kaca.
Dam terdiam. Itu menjelaskan kenapa Qon juga tiba-tiba menyeruak ke ruang kerjanya, naik ke atas pangkuan Dam, dan berkata “Qon sayang Papa. Qon tidak akan berteriak-teriak dan merepotkan Papa lagi kalau mau ke kamar mandi, Qon juga sayang Mama. Qon tidak akan nakal lagi seperti Toki si Kelinci.” Dam begitu terharu mendengar kalimat dari putrinya yang saat itu masih lima tahun.
Taani terus membela Ayah Dam. Taani bilang bahwa tidak semua cerita-cerita ayah buruk. Bahkan itu bisa mendidik anak-anak menjadi lebih baik. Taani mengingatkan Dam bahwa Dam mewarisi tabiat baik cerita-cerita itu. Seluruh penghuni kompleks mengenal Dam. Dam yang ramah, baik hati, dan ringan tangan membantu. Dam yang selalu menyapa, Dam yang pandai mendamaikan pertengkaran. Bahkan sopir angkutan umum di terminal kota mengenal Dam dan mereka akan dengan senang hati mengantar tamu yang bertanya rumah Dam sang arsitek. Dan Ayah Dam juga dikenal di seluruh kota sebagai pegawai yang jujur dan sederhana. Dia tidak kaya. Dia bukan pejabat tinggi, tetapi martabatnya tidak tercela, bahkan Papa Jarjit pernah bilang kalau ayah adalah orang paling terhormat dibanding kolega bisnisnya yang paling kaya sekalipun. Ayah hidup sederhana karena itu pilihannya. Ayah lulusan terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa. Saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi pejabat tinggi. Dia bisa amat kaya dan berkuasa. Tapi ayah hanya memilih menjadi pegawai negeri biasa dan hidup sederhana. Malam itu Dam dan Taani bertengkar hebat, dan masalah yang di debatkan adalah soal Ayah Dam. Malam itu Taani menangis, Zas dan Qon terlihat mengintip dari balik pintu kamar, dan mereka ikut menagis.
Zas dan Qon selalu senang menghabiskan waktu bersama kakek mereka. Taani mendapatkan amunisi terbesarnya, ia mengungkit kesepakatan sebelum menikah. Tentu saja Dam ingat kalimat itu, Dam selalu ingat apa yang dia ucapkan.
“Dan satu lagi, kalau kita jadi menikah, ingat ya, kalau. . .kita bisa saja batal menikah meski semua detail acara sudah diurus. Kalau kita jadi menikah, ayah kau adalah calon kakek anak-anak kita. Aku tidak akan memisahkan sedikit pun mereka dari kakeknya.”
Itulah syarat yang diajukan Taani saat akan menikah dengan Dam.
            Enam bulan Ayah Dam tinggal bersana anaknya dan taani serta kedua cucunya. Dan malam ini semua harus berakhir. Malam itu, saat penat lepas pulang dari perjalanan jauh. Dam mendapati anak-anaknya sedang mencari tahu kata “Akademi Gajah” lagi di dunia maya, Dam akan membuat keputusan tegas. Malam itu terjadi perdebatan serius antara Dam dan ayahnya. Ayah mulai tersengal, tubuh tuanya bergetar. Dam tidak akan berhenti sebelum ayahnya benar-benar  berhenti bercerita.
“Kau seperti tidak suka Ayah tinggal di sini, Dam.” Itulah kalimat pertama Ayah Dam setelah terdiam sejenak, berusaha mati-matian mengendalikan dirinya.
“Ya, aku memang tidak suka. Kecuali Ayah bilang pada Zas dan Qon bahwa cerita-cerita itu bohong.” Dam berkata dengan tegas.
“Aku tidak berbohong.” Ayah Dam menggeleng
“Kalau begitu Ayah tahu resikonya. Ayah harus pergi dari . . .”
Kalimat Dam terputus oleh perkataan Taani. Sambil menangis berusaha menutup mulut Dam, Taani terus memohon untuk tidak mengusir Ayah dari rumah mereka. Taani sudah memeluk Dam.
“Itu Ayah, Dam. Ayah kau! Yang menggendong kau saat bayi, yang mengajak berlarian saat kau dua-tiga tahun. Itu Ayah, Dam.” Kata Taani memperingatkan.
Di atas sana, Zas dan Qon menangis memeluk bantal. Mereka bisa mendengar pertengkaran di ruang keluarga. Dengan semua keberaniannya, Zas berteriak, “Ini semua salah Zas! Zas-lah yang meminta Kakek bercerita tentang sekolah Papa, tentang Nenek!”
“Baiklah-baiklah.” Ayah Dam berdiri, matanya redup menatap Dam. “Ibu kau benar, Dam. Tidak seharusnya aku dulu menceritakan petualangan masa itu. Ibu kau benar, suatu saat aku tidak akan siap dengan akibat-akibatnya.” Suara Ayah Dam semakin parau malam itu
            Taani langsung mencegah Ayah Dam untuk tidak pergi dan Zas dan Qon sudah mendorong pintu kamarnya, dan berlari menuruni anak tangga, ikut memeluk kakek mereka. Zas dan Qon menangis dan mencoba membujuk sang kakek untuk tidak pergi. Namun, keputusan Ayah dam untuk pergi sudah bulat, dengan jaket lusuhnya Ayah menghilang di balik pintu rumah mereka. Ayah pergi malam itu juga saat hujan deras.
            Drama setengah jam itu berakhir. Dam merebahkan dirinya di atas kursi, menatap laptop yang berdering pelan. Dam baru menyadari sebuah keajaiban besar. Mesin pencari di laptopnya tersambung ke seluruh ensiklopedia besar dunia. Tetapi bagaimana mungkin tidak ada satu pun laman yang pernah membahas Akademi Gajah, padahal Dam menghabiskan waktu selama tiga tahun di sana. Dam kemudian memasukkan nama lengkap ibunya. Satu detik berselang, dua belas ribu hasil pencarian muncul. Berita-berita yang pernah memuat tentang ibunya, artikel yang menulis tentangnya, kritikan, dan pujian ats kariernya. Dam tersedak. Taani benar, kebenciaan itu membuat Dam tidak adil.
            Tangan Dam bergetar menggerakkan mouse, menggeser ribuah hasil pencarian. Sebuah kolom berjudul ‘Bintang televisi menikahi pria biasa” menghentikan gerakan dam.
            Hujan di luar semakin deras. Cerita tentang Akademi Gajah bukan bohong, tidak peduli walau tidak ada satu pun lama yang pernah menulisnya. Cerita tentang ibunya lebih benar lagi. Ribuan bukti terserak di depan Dam. Dam lelah berfikir, besok pagi, keputusan malam ini bisa Dam bicarakan lagi dengan Taani.
            Sayangnya, tidak ada lagi waktu untuk esok. Saat loper koran melemparkan koran ke halaman, telepon rumah Dam berdering. Taani yang sedang menyiapkan sarapan mengangkatnya. Taani dengan suara bergetar memnggil Dam, menangis.
“Ada apa?” Dam bertanya.
“Ayah... Ayah ditemukan pingsan di pemakaman kota,” Taani berkata lemah, jatuh terduduk.
            Di rumah sakit, petugas yang menjaga pemakaman kota berkali-kali minta maaf pada Dam, bilang bahwa dia seharusnya melarang Ayah Dam malam-malam, hujan-hujanan masuk ke pemakaman kota. Ayah dam memaksa ingin ke pusara Ibu Dam malam itu. Saat itu ayah belum sadar. Sejenak, saat berdiri menatap ayahnya dari kejauhan yang sedang dikerumuni dokter dan perawat, seluruh kemarahan itu berguguran. Dam teringat momen yang sama saat dulu menatap ibunya. Tubuh ayahnya kini dililit infus dan belalai. Kesibukan yang sama dan rasa takut yang sama tiba-tiba memenuhi hatinya. Dam dulu takut sekali jika ibunya tidak sempat membuka mata sebelum Dam memeluknya, bilang betapa Dam menyayanginya. Dam menatap langit-langit ruang tunggu, mengingat pertengkaran semalam. Dam mengusir ayahnya dari rumah. Ayah pergi ke pusara Ibu.
            Malam harinya, saat Zas dan Qon tertidur, salah satu dokter keluar dari pintu kaca, memanggil Dam, dan bilang kalau ayahnya sudah siuman dan ingin bertemu dengan Dam. Doketer memberikan waktu tiga puluh menit untuk Dam menemui ayahnya. Dua belas jam menunggu kabar ayahnya, sedikit-banyak membuat kemarahan Dam menghilang. Saat tiba di ruang operasi, kondisi ayahnya menyedihkan. Tubuh kurus tua itu terkulai lemah di atas ranjang rumah sakit. Matanya redup. Napasnya tidak teratur.
“Dam.” Ayah tersenyum melihat dam
  Dam mengangguk.
‘Ayah, apa kabar?” Dam bertanya pelan.
“Buruk, Dam. Buruk sekali.” Ayah tertawa kecil. “Dam, maafkan Ayah, maafkan Ayah yang telah membuat ibu kau pergi. Kau benar, Dam. Seharusnya Ayah tidak mempercayai kalimat si Raja Tidur. Sehebat apa pun dia, sebijak apa pun dia, seharusnya Ayah lebih memercayai naluri untuk melakukan apa saja untuk menyembuhkan ibu kau.”Ayah Dam sedikit tersengal. “Maafkan Ayah, Dam. Ayah sudah keliru memahami urusan kita. Ayah pikir Ayah-lah orang yang paling sedih, paling kehilangan. Ayah keliru. Kaulah... ya, kaulah orang yang paling sedih atas kepergian ibu kau.”
Dam menggeleng, bergegas mendongak, mencegah air mata tumpah. Tidak ada yang perlu dimaafkan, tidak ada. Sejatinya mereka berdua sama sedihnya atas kepergian ibu.
Malam itu, dalam keadaan sakit Ayah Dam menjelaskan pada putranya itu apa arti hakikat sejati kebahagiaan hidup.
“Dam, hakikat sejati kebahagiaan hidup itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga akan datang  dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.” Ayah mulai tersengal 
“Ayah, istirahatlah dulu, besok saja kita lanjutkan.” Kata Dam
“Tidak, Dam. Kau harus mendengar ini sampai selesai.” Ayah kembali melanjutkan. “Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, dam. Amat terlihat. Mata itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut bahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang. Itulah hakikat sejati kebahagiaan hati, Dam.”
“Apakah ibu kau bahagia? Saat itu dia terkenal, kaya, dan berpengaruh. Hingga kesedihan itu tiba. Dia jatuh saat menghadiri pesta. Dokter bilang, usianya tidak akan lebh dari dua tahun. Ibu kau kehilangn gairah hidup. Orang-orang di sekitarnya bergegas pergi meninggalkannya. Ayah bertemu dengannya saat pesawat kami mengalami keterlambatan dua belas jam. Wajahnya pucat, tangannya sering gemetar. Kami berkenalan. Ayah menikah dengannya enam bulan kemudian. Ayah membawanya ke si Raja Tidur setahun kemudian. Kami bicara malam itu. Ibu kau bilang, dia setidaknya bisa bertahan setahun lagi. Dan kau lahir, Dam. Energi kebahagiaan saat melihat kau menangis menyambut kehidupan membuat ibu kau bertahan. Ibu kau bertahan bahkan lebih lama dibandingkan perkiraan si raja Tidur. Ibu kau bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya, meski harus hidup sederhana. Dia paham, dan memilih jalan itu, karena Ayah jauh-jauh hari juga sudah memilih jalan itu.” Ayah Dam mengeluarkan air mata saat bercerita.
“Apakah Ayah dan ibu kau bahagia? Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, harta benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kau miliki.” Ayah mengakhiri ceritanya dengan senyum yang mengembang.
“Apakah ibu kau bahagia, Dam? Kau sekarang tahu jawabannya.”
Saat Ayah Dam menyelesaikan perkataannya, Dam sudah memeluk ayahnya dengan sangat erat. Dam tidak menduga kalau itu adalah pelukan terakhir Dam untuk ayahnya.
Pagi itu, Ayah Dam dimakamkan. Antrean pelayat mengular panjang. Dam tidak pernah melihat keramaian seperti ini sebelumnya di kota, keramaian ini mengalahkan kejuaraan nasional renang, bahkan tur sang kapten dua puluh tahun silam. Dam mengangguk pelan menerima setiap kalimat pujian untuk ayahnya, kalimat membesarkan hati, kalimat ikut berdukacita.
Saat Dam mendongak ke atas. Ada sembilan formasi layang-layang  besar di sana. Dam mendesah. Sepertinya itu bukan minggu festival layang-layang. Layang-layang itu terlihat anggun, mengambang.
“Pa, jangan-jangan itu formasi layang-layang sembilan klan Suku Penguasa Angin. Mereka datang untuk melayat Kakek,” Zas yang berdiri di sebelah dam berbisik.
Dam hanya tertawa kecil medengar pendapat anaknya tersebut.
            Di tepi pemakaman terdengar teriakan-teriakan. Seruan-seruan tertahan. Kerumunan mencair. Anak-anak muda berlarian.  Di tepi pemakaman, pemain bola terhebat itu tersenyum lebar, melambaikan tangan, dan bergerak maju mendekati pemakaman Ayah Dam. Tidak hanya sendiri, dia datang bersama pemain legendaris. Itulah si Nomor Sepuluh, di belakangnya juga berdiri sang Kapten kebanggaan Dam, dia tersenyum ramah kepada semua orang di pemakaman. Si nomor sepuluh tinggal sepuluh langkah lagi dari pemakaman Ayah Dam. Zas dan Qon sudah loncat mendekat.
“Kalian pasti dua monster kecil itu,” kata si Nomor Sepuluh. “Tidak salah lagi, kalian pasti dua monster kecil itu.”
Dam benar-benar kehabisan kata-kata. Taani memeluk Dam erat-erat, berbisik, ”Ayah tidak pernah berbohong, Dam. Ayah tidak pernah berbohong.”
Bintang sepak bola itu memeluk Zas dan Qon, menggendong mereka, lantas bergerak mendekati Dam. ”Kau tidak tahu betapa bencinya aku pada ayah kau, Dam.” Ia tertawa. “Setiap malam ketika aku terlambat pergi latihan, pamanku, kapten tua ini, selalu menceramahiku dan menyebut-nyebut ayah kau. Memaksaku berlatih siang-malam, tidak sempat pergi bermain.”
Sang Kapten melangkah mendekati Dam, menyalaminya penuh penghargaan, ikut tertawa. “Jangan dengarkan dia. Sejak kecil dia memang pemalas, tidak tahu berterima kasih. Seharusnya dia melihat sendiri bagamana kapten tua ini dulu diceritakan ayah kau tentang kerja keras, pantang menyerah.”
Dam kehabisan kata-kata, tidak mengerti, silih berganti menatap si Nomor Sepuluh yang menggendong Zas dan Qon dan sang Kapten yang berdiri di depannya.
“Ayah kau pastilah tidak pernah bilang itu.” Sang Kapten seperti tahu apa yang dipikirkan Dam. “Tentu saja, karena sejatinya tanpa bertemu dengan ayah kau saat aku menjadi pengantar  sup jamur, aku tidak akan pernah menjadi pemain hebat. Dan tanpa itu, keponakanku yang pemalas ini juga tidak akan pernah menjadi pemain hebat, karena aku tidak punya inspirasi mendidiknya. Ayah kaulah yang datng ke klub itu, bilang aku berhak mendapatkan kesempatan. Dia mengancam akan melaporkan klub itu ke komite olahraga karena menolakku ikut seleksi hanya gara-gara tinggi badan.” Dia kembali mengenang perjuangan Ayah Dam untuk dirinya.
“Senang akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kau, Dam. Satu-satunya penyesalanku adalah aku tidak pernah tahu di mana ayah kau tinggal. Dia raib begitu saja setelah lulus sekolah masternya. Aku bertahun-tahun menyuruh agenku mencari tahu. Saat tur ke kota kau tiga puluh tahun silam, aku berharap ayah kau menyapa, ternyata tidak. Aku bertanya ke panitia pertandingan, tidak ada yang tahu. Untunglah keponakanku ini ikut mencari. Dia berhasil mendapatkan nomor telepon ayah kau beberapa bulan lalu, dan pernah menghubungi ayah kau. Kami merencanakan datang saat libur musim kompetisi. Lihat, aku datang amat terlambat. Ayah kau sudah pergi.”
            Mata Dam tiba-tiba basah oleh air mata. Orang-orang masih berepuk tangan. Jarjit yan dulu bangga sekali punya bola bertanda tangan sang Kapten mengacungkan jempol, tersenyum. Sang Kapten sudah memeluk Dam erat-erat. “Aku turut berdukacita, Dam. Ayah kau adalah segalanya bagi kapten tua ini. Ayah kau terlalu sederhana untuk mengakuinya.”
Dam balas memeluknya erat-erat, menangis terisak.
“Ayahku bukan pembohong.” Dam berkata dengan tegas
Hari itu Dam tahu bahwa ayahnya bukan seorang pembohong.
Continue Reading...

Minggu, 06 Oktober 2013

SEMPAT MEMILIKI

-laras Talking-

Sekali lagi Gue berhadapan dengan cermin rias di kamar gue untuk melihat pantulan diri gue sendiri.
"hhh... happy anniv Sayang" kata gue pada kaca rias seolah itu fajar.
"huuh! Gue kok jadi gugup gini sih?" gumam gue. Tiba tiba terdengar suara klakson motor.

Gue beralih ke jendela memastikan bahwa yang datang itu fajar. Tepat! Bibir gue menyunggingkan senyum kecil. Gue raih tas tangan di atas meja lalu bergegas turun ke bawah.

"hai..." sapa gue gugup sambil berjalan mendekati fajar.
"cantik!" ujarnya yang membuat gue merona.
"makasih..." sahut gue malu malu
"jalan sekarang?" tanya fajar seraya menyalakan mesin sportnya. Gue mengangguk sebagai tanda setuju. Langkah gue mendekat ke belakang Fajar lalu menaiki motor fajar.

"udah siap?" lagi lagi gue mengangguk. fajar tersenyum melajukan motornya meninggalkan halaman rumah gue.
"mau kemana jar?" tanya gue
"ntar juga loe tau" sahutnya sok rahasia.

Beberapa menit kemudian motor Fajar sudah terparkir di parkiran SMA Persada. Dia menggandeng tangan gue lembut memasuki koridor sekolah.
"ngapain sih jar kita ke sekolah malam malam ?" tanya gue bete. Gimana engga? Hari ini anniv satu tahun gue sama dia tapi Fajar  malah ngajak gue ke sekolah.

" Gue mau ajak loe ke atas gedung" jawabnya yang membuat gue heran. Gue dan Fajar baru memasuki masa SMA walau baru awal semester. Kita bersahabat sejak SD. Dulu ada gue, Fajar, Dicky dan Lala. Tapi sekarang hanya tinggal gue, Dicky dan Fajar karna lala melanjutkan sekolah di Jepang.
Fajar membuka pintu menuju atap gedung. Angin malam yang dingin menyambut wajah gue. Fajar menggenggam erat tangan gue lalu membawanya ke pagar pembatas. Ada sebuah meja juga dua buah kursi di sana. Serta puluhan lampu yang meredup dan alunan musik mellow. Romantis.

"ini..." gue melepaskan genggaman Fajar dan melangkah maju menatap apa yang ada di hadapan gue.

"happy anniv laras" Fajar melingkarkan tangannya di perut gue dan menaruh dagunya di bahu kanan gue.

"eeh.. ngg.. happy anniv juga Fajar" kata gue sambil menggenggam erat tangan Fajar yang melingkar di perut gue
"kita dinner dulu yuk, abis itu ada yang mau gue kasi ke elo" fajar melepaskan pelukannya lalu menarik tangan gue.

Fajar menarik satu kursi untuk gue duduki.
"makasih ya" Fajar hanya tersenyum lalu duduk di depan gue
"kamu yang siapin ini semua?" tanya gue sambil melihat sekeliling
"buat hari ini dan buat loe" jawabnya yang membuat gue tersipu

Setenagah jam berlalu. Fajar menyilangkan sendok juga garpunya di ikuti gue.
" ooh ya, gue punya ini buat loe" fajar merogoh saku jasnya lalu memperlihatkan sebuah gelang yang beberapa waktu lalu ingin gue beli
"ini kan..." gue menatap Fajar bingung

"buat loe, hadiah anniv kita" katanya di sertai senyum
" sini gue pakein" lanjut fajar. dia beranjak dari kursinya lalu berjongkok di samping gue sambil memakaikan gelang putih berhiaskan peri-peri kecil. gue tersenyum menatapnya.

"aku juga punya hadiah buat kamu" gue merogoh tas gue mencari hanband berwarna merah. itu warna favorit Fajar dan dia anak basket, pasti membutuhkan itu.
" buat gue?" tanyannya saat gue menyodorkan handband di tangan gue. gue mengangguk

"kalo pas kamu main basket" jelas gue. Fajar menatap gue lalu tersenyum
"thanks yaa, gue simpen ini pasti" gue mengangguk
mau dansa sama gue?" Fajar merubah posisinya menjadi berlutut di hadapan gue. tangan kananya terulur bermaksud mengajak gue

"ajarin ya tapi? aku ngga bisa" pinta gue yang di balas anggukan. gue menerima uluran tangan Fajar lalu berdiri mengikutinya menjauhi meja. Fajar meletakan tangan gue di lehernya dan dia meletakan tanganya di pinggang gue
"kanan kiri aja ikutin langkah gue" ucap Bisma

lama gue berdansa dengan fajar. kini gue dan Fajar berdansa sambil berpelukan. gue menyandarkan kepala gue di dada Fajar sementara  Fajar mengusap rambut gue lembut dan sesekali menciumnya.

"Laras"
"hmm..." sahut gue
"ada yang mau gue omongin sama loe" ucap Fajar
"ya udah omongin aja, aku dengerin kok " terdengar Fajar menarik nafas berat lalu...

"gue rasa hubungan kita cukup sampai di sini" perkataan Fajar sukses membuat gue mendongak menatapnya
"maksud kamu?" tanya gue kaget. lagi,Fajar menarik nafas berat
"kita putus" ucapnya lirih. seketika mata gue membola mendengarnya.
"apa? pu...tus???" Fajar menganggguk
"nggak! aku ngga mau! alu punya salah apa sama kamu jar " tanya gue lirih. Fajar menggeleng

"loe ngga salah apa-apa. tapi ini udah keputusan gue, besok sore gue terbang ke Jerman, gue nerusin sekolah di sana dan kita ngga mungkin LDR-an kaya gini" Fajar memegang ke dua pundak gue bermaksud menjelaskan tapi, gue menghempaskannya kasar.
"ngga! aku ngga mau Fajar. aku bisa tungguin kamu sampai kamu balik dan kita ngga akan pernah putus sampai saat itu" gue melepaskan kasar tangan Fajar dan berlari menjauhinya sambil terisak
"Laras. laras" Fajar menatap lirih Punggung  gue yang menjauh
"jangan tunggu gue, karna gue ngga tau apa gue bakal lagi atau ngga"


***


"hati-hati bro, jaga kesehatan" Dicky menepuk-nepuk punggung Fajar.
sore ini gue dan Dicky mengantar kepergian fajar ke Jerman
"so pasti sob" fajar balik menepuk punggung Dicky lalu dia beralih menatap gue yang terisak sedari tadi. Fajar memajukan langkahnya sementara Dicky memalingkan wajahnya ke arah lain. ia tak mau membiarkan Bahtin,nya tersakiti lagi.
"hey, jangan nangis" Fajar menghapus airmata di pipi gue
"jangan pergi, jangan tinggalin aku" ucap gue lirih. Tanpa banyak bicara Fajar mendekap wajah gue di dadanya
"maaf... tapi, gue harus pergi. ini bukan kemauan gue" katanya yang semakin membuat gue terisak
"lupain gue dan loe ngga akan rasain sakit lagi" setelah berkata begitu fajar mencium puncak kepala gue dan melepasnya. gue menunduk menahan sakit mendengar perkataan Fajar.

"gue pergi" fajar meghapus airmata gue lalu menari kopernya menuju kabin pesawat.
"fajar.." lirih gue sementara itu Dicky merangkul gue dari samping bermaksud menguatkan. tanpa banyak berkata lagi, gue menangis di dada Dicky.
"FajarKu, dia... dia suruh gue lupain dia... gu...gue ngga bisa Ky :'("
"ssshhh.... udah yaa, lebih baik kita balik sekarang" ucap Dicky. dia berbalik membawa gue meninggalkan bandara Soekarno Hatta.

***

Tiga Tahun Kemudian
"Laras ada surat sayang" mama menghampiri gue di kamar
"surat dari siapa mah?" tanya gue sambil menatap fokus layar laptop
"ngg... dari fajar nih kayanya" mendadak loncat dari kasur menghampiri mama di ambang pintu
"Fajar mah?"tanya gue tak percaya. mama menganguk
"iya, ya udah nih mama mau masak lagi" mama menyerahkan sepucuk surat berwarna putih di tangannya lalu berlalu ke dapur

"Fajar?" gue tersenyum lalu menutup pintu rapat rapat. jemari gue dengan lincah membuka surat di tangan gue. surat pertama dari Fajar


Dear Laras...
hey, apakabar loe? gue harap selalu baik oke :)
gimana dengan kuliah loe? udah berhasil masuk ITB?
Laras, gue bakal nerusin kuliah gue di Indonesia.
bareng loe dan Dicky pastinya. Besok gue balik, and
malamnya ngundang loe dan Dicky ke rumah gue.
hmm... empat tahun kita ngga ketemu, gue penasaran sama loe, masih cengeng? haha
oke, tunggu gue besok. gue punya kejutan buat loe sama Dicky

Fajar Surya


Gue melompat-lompat sambil memeluk surat kiriman Fajar.
"aaaa... Fajar, akhirnya ngga sia-sia aku nunggu kamu empat tahun ini. aku kangen banget sama kamu jar" gue mencium surat dari Fajar lalu beranjak meraih ponsel gue di meja belajar. jemari gue mulai mencari kontak name Dicky. Setelah dapat, gue menekan tombol berwarna hijau.
"hallo Ky"
"...."
"Fajar Ky, Fajar pulang besok!" ucap gue antusias
"...."
"sumpah gue ngga bohong! dia ngasi tau gue lewat surat"
"...."
"oke sip besok kita jemput di bandara ya?"
"...."
"iya, bye" klik. telpon terputus. gue tersenyum meraih bingkai photo gue, fajar dan Dicky
"aku yakin kamu pasti kembali"


***


"fajaaaaaar" gue merentangkan tangan gue memeluk Fajar. dia tersenyum membalas rangkulan gue.
"hallo bro" Dicky menepuk pundak Fajar
"you know what guys? gue kangen banget sama loe semua"
"sok inggris loe" cibir Dicky
'bodo, suka suka gue" sahut Fajar sinis
"ish udah udah, kalian ini kalo ketemu pasti berantem. mending sekarang kita ke rumah kamu, kamu juga cape kan Jar?" Fajar mengangguk lalu merangkul pundak gue
"cape gila...." ucapnya yang lalu berjalan bersama gue meninggalkan Dicky
"saatnya masa bahagia loe berakhir Ky" gumam Dicky lalu menyusul langkah Gue dan Fajar


***

Gue menatap diri gue di cermin sekali lagi. memastikan bahwa penampilan gue kali ini udah sempurna untuk bertemu dengan fajar
"hhh udah siap :). kira kira Fajar punya kejutan apa yah buat gue sama Dicky?" batin gue bertanya-tanya
tiiinn tiinn tiiinn. suara klakson motor Dicky membuyarkan lamunan gue. cepat cepat gue raih tas di meja rias dan setengah berlari gue menghampiri Dicky di bawah.
"cantik! berangkat sekarang?" puji dan tanya Dicky
"makasih Ky, iya berangkat sekarang :)" gue berjalan ke belakang Dicky lalu menaiki jok motornya
"pegangan" gue mengangguk. perlahan motor sport Dicky mulai melaju meninggalkan halaman rumah gue.

Motor sport Dicky terparkir di halaman rumah Fajar. ternyata halaman rumah Fajar sudah ramai dengan beberapa mobil dan motor. gue turun dari motor Dicky dengan dahi berkerut.
"ada acara apa yah Ky?" Dicky menggeleng.
"masuk yuk" ajaknya lalu menggandeng tangan gue masuk.

Gue mengedarkan pandangan gue mencari cari sosok Fajar di tengah keramaian.
"Hey guys!" fajar menepuk bahu Dicky. Gue sontak menoleh takjub ke arahnya. Malam ini Bisma terlihat keren sekali dengan stelan kaos putih di balut jas hitam menambahkan karismanya
"Eeh elo, ada acara apa nih? Rame banget" tanya Dicky bingung

"Ooh iya gue lupa bilang sama loe berdua. Malam ini pesta pertunangan gue dengan Jessica, pacar gue." Jelas Fajar yang sukses membuat mata gue membola.
"Per...tunang...an??" Ucap gue terbata

Bisma mengangguk pasti.
"Bentar gue kenalin. Je, sini" Fajar mengibaskan tangannya pada seorang gadis berambut hitam pekat yang tengah berbincang dengan tante Tama
"Iya kenapa Jar?" Tanyanya seraya tersenyum dengan gue dan Dicky
"Ini, aku mau kenalin kamu sama sahabat SMA aku. Ky,laras ini Jeje tunangan gue, Je ini Dicky sama Laras yang kemarin aku ceritain" gadis cantik itu mengangguk lalu tersenyum

"Aku Jesicca, tapi panggilnya Jeje aja. Seneng kenal sama kalian :)" Jeje menjabat tangan Dicky lalu tangan gue. Pada saat menjabat tangan gue, gue membaliknya melihat sebuah cincin platina putih telah melingkar manis di jarinya.
"Ini cincin tunangan kalian?" Tanya gue yang di balas anggukan.
"Jadi..."Tanpa berkata apa apa, Dicky merangkul pundak gue bermaksud menguatkan.
"Selamat yaa bro, loe balik balik ngga taunya tunangan" Fajar terkekeh dan mengangguk

"Jar gue ngga bawa kado nih! gantinya gue nyanyi aja yah buat kalian. ngga papakan ? " kata gue kembali mengatakan loe-gue.
"Dengan senang hati gue bolehin" ucap Fajar. Gue tersenyum lalu berjalan meninggalkan Fajar, Dicky dan Jessica.

"Selamat malam semua, kali ini saya akan menyumbangkan sebuah lagu untuk sahabat-sahabat saya yaitu Fajar dan Jessica. Selamat ya, semoga kalian longlast sampai jenjang berikutnya" ucap gue sambil tersenyum. Senyum miris pastinya.

Mengapa kita bertemu bila akhirnya di pisahkan
Mengapa kita berjumpa tapi akhirnya di jauhkan
kau bilang hatimu aku, nyatanya bukan untuk aku
bintang di langit nan indah dimanakah cinta yang dulu?
masihkah aku di sana di relung hati dan mimpimu
andaikan engkau di sini, andaikan tetap denganku

aku hancur ku terluka namun engkaulah nafasku
kau cintaku meski aku bukan di benakmu lagi
dan ku beruntung sempat memilikimu

Bintang di langit nan indah di manakah cinta yang dulu
Masihkah aku di sana, di relung hati dan mimpimu ooohh
Andaikan engkau di sini, andaikan tetap denganku
Aku hancur ku terluka namun engkaulah nafasku
Kau cintaku, meski aku bukan di benakmu lagi dan ku beruntung sempat memilikimu

Engkau mengatakan merindukan diriku lagi
Ingin ku sampaikan bukan hanya sekedar rindu
Wooo...ooohh...oooo..

Aku hancur ku terluka namun engkaulah nafasku
Kau cintaku meski aku bukan di benakmu lagi
Dan ku beruntung sempat memilikimu
Aku hancur ku terluka namun engkaulah nafasku
Kau cintaku meski aku bukan di benakmu lagi
Dan ku beruntung sempat memilikimu
Dan ku beruntung sempat memilikimu...

Gue menunduk memberi hormat pada para tamu undangan lalu beranjak turun menghampiri ajar, Dicky dan Jessica.
"laras loe masih..." Gue tersenyum menatap Fajar
"Sorry Jar, tapi gue janji akan hilangin perasaan ini. Makasih udah buat gue nunggu dan makasih buat kejutannya. Sekali lagi selamat buat kalian." Gue tersenyum pada Jessica lalu berlari keluar

"Laras,Laras.." Dicky berlari mengejar gue keluar.
"Sorry Laras, gue ngga pernah mikir loe masih punya rasa sama gue padahal ini udah lewat empat tahun. Sorry kalo gue ngasih loe harapan" batin Fajar

***

Dicky mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut jalan. Sesekali ia berlari sambil meneriaki nama Laras.
"Hhh.. Loe di mana sih ?" Gumam Dicky cemas. Dia kembali melangkah saat samar samar di dengarnya suara tangis.
"laras..."Ucap Dicky pelan. Dia melangkah mendekati gadis yang terduduk di trotoar jalan sambil menutupi wajahnya. Dicky tersenyum saat dia rasa itu memangLaras

"Udah ngga usah nangis" Dicky menaruh kepala gue di pundaknya. Membuat gue semakin terisak
"Gue bego Ky, bego ngarepin Fajar balik dengan perasaan yang sama!" Ucap gue terisak" Dicky tersenyum
"Loe ngga bego, loe itu tulus" kata Dicky. Dia mengangkat wajah gue lalu memberikan senyum.

"Belajar ikhlasin apa yang ngga mungkin loe milikin termasuk cintanya Fajar. Cinta ngga selalu bisa memiliki, cukup loe liat dia bahagia dengan cintanya sekarang itu baru namanya cinta. Cinta loe tulus buat Fajar gue yakin loe bisa pelan pelan lepas dia karna loe mencintai dia dengan hati Laras dan hati loe ngga buta" Dicky tersenyum menghapus sisa sisa airmata di pipi gue

"Loe ngomong gampamg! Coba loe jadi gue dan rasain gimana sakitnya? Ngga akan bisa!" Dicky terkekeh kecil
"Gue rasain makanya gue bisa bilang ini. Apa loe pikir liat loe selalu sama Fajar ngga nyesek? Liat loe nangisin Fajar apa ngga sakit?" Gue terbelak mendengar penuturan Dicky. Tapi, dia justru tersenyum
"Tapi gue yakin, cinta gue ke elo ngga buta. Gue cukup bahagia bisa deket sama loe walau hanya sebatas sahabat. Awalnya susah, tapi gue yakin gue bisa. Dan gue bisa, karna gue biasa liat loe berduan sama Bisma, biasa ngerasain sakit" ujar Dicky lirih

Gue menunduk merasa bersalah, jadi selama ini sejahat itu kah gue?
"Maaf..." Dicky menggeleng
"Cinta ngga pernah salah, gue ngga minta cinta sama low dan loe ngga minta cinta sama Fajar. So, belajar memahami cinta itu sendiri" gue mendongak menatap Dicky

"Gue belum paham apa itu cinta, jadi bisa bantu gue memahaminya? Bantu gue melupakan dan mengerti cinta" Dicky menatap gue tak percaya namun kemudian dia tersenyum
"Loe minta bantuan pada orang yang tepat!" Katanya seraya mencolek hidung gue

"Ish... Dicky!"
"Apa?" Sahut Dicky cuek
"Colek-colek hidung orang sembarangan!" Omel gue. Dicky terkekeh
"Udah malem, loe ngomel-ngomel mulu. Ayo pulang!" Dicky berjongkok di hadapan gue.

"Biarin, siapa suruh colek colek gue haa?!" Omel gue seraya menaiki pundak Dicky
"Hati gue yang nyuruh, kalo mau ngomel omelin hati gue aja" kata Dicky bercanda. Gue melotot lalu menjambak rambut Dicky kesal.
"Aaaa....iya..iya ampun laras aduuh rambut gue aaa.."
"Makanya! Rasain tuh!"

The End
Continue Reading...

Rabu, 18 September 2013

Bertanya dalam Hati


Sore itu, seorang pemuda berusia puluhan tahun atau tepatnta 26 tahun tengah berdiri di sebuah taman. Di tanganya ada sebuklet mawar yang di peruntukkan untuk kekasih hatinya. 
Sebagai layaknya pasangan lainnya, zidan telah janjian dengan mei di taman yang pertama kali mempertemukan mereka ini. Kenapa? Karna hari ini tepat satu tahun hari jadi mereka. zidan berniat mengajak Mei Untuk bertemu dengan kedua orang tua Zidan.

Tapi, lama Zidan menunggu. Dari posisi berdiri, duduk sampai berdiri lagi menatap ke arah pintu masuk taman, tetap saja bayang Mei tak juga muncul. Padahal waktu terus berjalan. Mendadak, beribu macam pertanyaan muncul dalam hatinya. Apa yang terjadi dengan mei? Apa jangan-jangan mei  udah gak cinta dia? Apa cuma masalah waktu? Mungkin mei telat.

Begitulah zidan mencoba menebak-nebak sendiri pertanyaan. Sangking asyiknya menebak, zidan tak sadar kalau sudah dua jam ia menghabiskan waktunya di taman itu. Sekarang sudah pukul tujuh malam. Bunga mawar di tangannya bahkan sudah layu. zidan menghela nafas lalu membuang asal bunga di tangannya dan berlalu dari sana.

Langkah-langkah Zidan terlihat kecewa menuju mobilnya yang terparkir di parkiran taman. Mungkin mei  gak bisa datang hari ini. Mungkin besok. Begitu batinnya berkata. Akhirnya, dengan tangan hampa-yang biasanya selalu menggandeng Mei. Zidan memasuki ferrarinya dan melesat meninggalkan taman.

***

Hari-hari terus berlalu, namun Mei tidak pernah datang. Bahkan tidak juga setelah hari jadi mereka yang di pikir Zidan,mei akan datang. Padahal, ini sudah lewat tiga hari. Mei bahkan tak mengiriminya pesan singkat seperti biasa ataupun menghubunginya untuk menghilangkan kecemasan hatinya. Sebenarnya ada apa? Mei tak pernah seperti ini sebelum-sebelumnya. Apa benar kalau... Zidan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak! Ia sangat tahu Mei mencintainnya dan begitupun ia pada Mei. Maka dari itu hari ini Zidan mengambil keputusan untuk menyambangi rumah Mei. Ia marah, tapi itu tak penting. Rasa sesak di dadanya karna berjuta pertanyaan lebih mengutamakan segalanya hari ini. Serta, rasa rindunya terhadap Mei tentunya.

Maka, sore itu sepulang ngampus, Zidan melajukan mobilnya pelan-pelan menyusuri jakarta menuju rumah Mei. Di kursi penumpang, ada sebuklet mawar favorit Mei  beserta sebuah kotak merah hati. Benar, Zidan berniat melamar Mei. Tak peduli apapun jawaban gadis itu, yang ia tahu, ia tak mau kehilangan Mei. Dan disinilah ia sekarang. Berdiri tepat di depan rumah Mei. Tapi, kenapa rumah ini teramat sepi dan... Suram?

Ragu-ragu Zidan melangkahkan kakinya memasuki serambi rumah Mei. Dia pernah dua kali ke sini. Yang pertama untuk sekedar main, dan yang kedua untuk bertemu orang tua Mei.Lama zidan  menunggu, sampai akhirnya pintu terbuka. Ibunda Mei sendiri lah yang membukakan pintu untuknya.

Awalnya, wanita paruh baya yang akrab di sapanya mama itu tertegun melihat kedatangan zidan. Namun, itu semua menghilang saat Zidan  menyalimi tangannya.
"Sore mah, mama apa kabar?" Tanya Zidan sopan.
"Zidan.."Desisnya lirih. Zidan menatapnya curiga sebelum memberikan senyum bingungnya.
"Iya mah, ini Zidan. Mei ada mah? Zidan mau ketemu Mei " dan entah sejak kapan tangis wanita yang di hormatinya itu pecah sebelum akhirnya suara ngebass pria dari dalam-yang sangat di kenalnya sebagai suara papa Mei. Yang muncul lalu menatapnya sama terkejutnya seperti wanita yang di panggilnya mama.

“Zidan...”
"Sore pah," sapa ZIdan lalu menyalimi (juga) tangan pria yang di hormatinya itu. Pria paruh baya itu menunjukkan kesan kikuk di tempatnya berdiri sebelum berkata dengan dinginnya.
"Mau apa kamu kemari?" Zidan tertegun. Belum pernah orang yang di panggilnya papa berkata dengan nada tak bersahabat begitu.
"Zidan mau ketemu sama Mei  pa. Mei ada kan Pa? Dan mama, kenapa mama tambah nangis? Ada apa?" Tanya Zidan  bertubi-tubi. Bukannya menjawab, wanita itu berlari masuk sembari menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Zidan mengernyit bingung lalu menatap pria di hadapanya dengan expresi papa-bisa-menjelaskan-apa-yang-terjadi?

Pria itu menghela nafas lalu menepuk pundak Morgan.
"Pulanglah nak, Mei sudah tidak ada di sini" zidan  terhenyak. Bingung serta kaget dengan perkataan calon papa mertuanya.
"Mak-maksud papa apa? Mei kembali ke Jepang?" Tanya zidan bergetar. Bahkan tangannya pun-yang ia sembunyikan di belakang punggungnya karna memegang sebuklet bunga dan kotak cincin. ikut bergetar hebat. Pria itu menarik narif pelan lalu menggeleng.
"Tabah Zidan, Mei telah tiada. Ia meninggal tiga hari yang lalu" serta merta buklet bunga dan kotak cincin di tangan Zidan terjatuh begitu saja ke lantai yang berhasil menimbulkan bunyi yang cukup keras. Zidan terpaku. Mencoba mencerna kata-kata (calon) papa mertuanya.

***

Dan disinilah Zidan  berada. Berdiri di depan sebuah gundukan tanah yang masih merah dengan nama yang sangat amat ia kenal. Mei Ananda Putri . Zidan menghela nafas lalu berjongkok sembari membuka kacamatanya. Ia tersenyum walau yang terlihat adalah senyum pesakitan. Semilir angin sore masih betah membuatnya menatap nisan di hadapannya lama-lama.
"Hei... Apa kabar kamu Mei?" Tanya Zidan parau. Di letakkannya bunga mawar kesukaan Mei sementara tangan kirinya masih memainkan kotak merah hati berisikan cincin platina putih. Zidan tersenyum miris mengingat kata-kata Ael di telpon malam sebelum hari jadi mereka.

Flashback...

"Jadi besok kamu harus datang ke taman itu pukul empat sore!" Tegas Zidan untuk kesekian kalinya. Terdengar gelak tawa di ujung sana.
"Aku gak mau janji Zidan, nanti kalau aku janji terus aku gak dateng, kamu kecewa" ucap Mei tenang. Zidan  menghela nafas
"Kamu bicara seolah kamu emang gak niat dateng Mei ." Kesal Morgan
"Bukan begitu, tapi.."
"Mei, mama dan papaku jauh-jauh datang dari singkawang untuk bertemu denganmu. Ku mohon datanglah." Pinta zidan melas. Mei  menghela nafas.
"Baiklah aku akan..."
"Yes! Aku tunggu sampai kamu dateng Mei  " potong Morgan tak sabaran.
"Hei, aku kan belum selesai bicara. Kamu suka sekali memotong pembicaraanku" kesal mei . Zidan terkekeh
"Tak usah marah-marah seperti itu, calon istriku masa seperti ini?" Ledek Zidan

"Ya sudah, cari saja gadis lain sana. Memangnya aku harus sempurna terus? Aku juga pasti punya kurang dan kamu pasti lebih menyesal nanti setelah menikah" kata Mei serius tapi Zidan  menganggapnya candaan.
"Dasar kamu ini, aku bercanda. Siapa yang mau melepaskan gadis manis manja yang pipinya akan seperti tomat saat ku goda? Enak saja, tidak akan!" ledek Zidan di sertai tawa geli
"Kamu das... Uhuk...uhuk..uhuk.."Mei  terbatuk tanpa sempat melanjutkan kalimatnya.
"Mei, kamu engga apa-apa kan? Mei” mendadak, suara Zidan terdengar cemas. Di sebrang sana Mei  meraih saputangannya dan menutupi wajahnya dengan saputangan tersebut. Ia membukanya dan menggeleng lemah melihat cairan kental tersebut.
“ Mei halo,Mei..." Mei tersentak kaget
"Aah, iya aku engga apa-apa Zidan. Zidan,sudah malam. aku lelah sekali hari ini, aku tidur dulu ya. Selamat malam dan jaga dirimu baik-baik" ucap Mei di sebrang sana.
"Baiklah, jaga dirimu juga. Kalau sakit, bilang padaku" Mei tersenyum miris.
"Night Aelovely.."
"Zidan..." Cegah Ael saat Morgan hendak menutup telpon.
"Hmm? Ya mei ?" Lama tak terdengar suara, hingga Zidan menangkap Mei setengah bergumam
"Apa? Aku gak denger Mei" kata Zidan mencoba untuk Mei mengulang kalimatnya.
"Aku sayang kamu, aku mencintai kamu... Selalu Zidan" lalu setelah mengatakan itu, sambungan telpon mereka terputus. Di sini, Zidan tersenyum dan menganggap Mei malu lalu segera memutus telpon. Dia tak pernah tau kalau di kamarnya, Mei jatuh pingsan.

Flashback off

Tak terasa mata Zidan berkaca-kaca. Ia memakai kacamatanya kembali-berusaha menutupi tangisnya. Terdengar helaan nafas Zidan.
"Kamu curang Mei, kamu tutup telpon kita padahal aku belum bilang kalau...hh..kalau aku juga mencintai kamu. Sangat Mei...” Dan Zidan membuka tutup kotak merah hati itu, di raihnya satu cincin yang akan Mei pakai jika dia menerima lamaran Zidan. Sebuah cincin platin putih dengan mata berlian yang cantik. Zidan tersenyum miris lalu meletakkan cincin tersebut di atas gundukkan makam.

"Mei, aku mungkin pacar paling jahat yang gak pernah tahu kalau kamu mengidap penyakit sialan itu! Maaf Mei, seandainnya aku tahu, aku pasti akan membawa kamu ke Jerman. Kita berobat di sana untuk kesembuhan kamu" lirih Zidan. Ia terdiam lama sebelum akhirnya mendongak menatap langit. Sudah beranjak senja dan dia harus pulang jika tak ingin lebih mengkhawatirkan teman sekosnya-Dicky.

"Mei, aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik Mei. Kamu harus tau, kalau aku selalu dan sangat menyayang kamu. Lebih dari diriku sendiri. Kamu benar, aku akan mengejar sarjanaku Mei, untukku, orang tuaku dan terutama untuk kamu Mei. Terimakasih untuk satu tahun tiga hari ini serta surat singkat itu. Kalau kamu ada waktu, jangan lupa datang ke mimpiku Mei. lovely." Zidan bangkit, mengusap sekilas makam Mei lalu mulai berjalan perlahan meninggalkan pemakaman.

Ia sadar betul sekarang apa yang harus ia kejar dan miliki-gelar sarjananya. Mei-nya benar, ia tak boleh malas kuliah lagi. Ia harus lulus dengan IP tertinggi dan mendapat gelar yang ia mau. Harus.
"Semua ku lakukan untuk kamu Mei " batin Zidan lalu membuka pintu mobilnya.

Ngomong-ngomong, siapa yang penasaran dengan surat Mei? Zidan mau kok bercerita sedikit tapi, setelah itu ia akan menyimpan baik-baik surat itu di semua barang pemberian Mei, yap, karna sekarang, Mei-nya hanya tinggal barang pemberian yang selalu ia kenang selamanya. Termasuk surat ini.

Dear Zidan Sayang...

Aku menulis surat ini dengan tangan bergetar dan sisa tenaga yang ku punya. Jadi, maafkan aku yah kalau kali ini kamu tak akan berkata "tulisanku kalah lagi denganmu Mei". Ya, karna kali ini tulisanku lebih mirip anak TK yang baru saja belajar menulis. Hihi.. Menggelikan yah?
Zidan bagaimana kabar kamu hari ini? Ku harap lebih baik dari semalam. Oh yah, happy anniv Zidan . Maaf yah, sepertinya aku memang ngga bisa dan gak akan pernah bisa datang menemui kamu. Tidak untuk hari ini, tidak untuk wisudamu dan tidak untuk selama-lamanya.
Zidan , semalam kepalaku terasa sakit sekali, tiba-tiba saja aku batuk dan mengeluarkan darah. Aku takut sekali Zidan , aku takut apa yang tak pernah ku inginkan akan terjadi, dan benar saja, aku terbangun siang ini di sebuah ruang ICU dengan mama yang terus menangis di sebelahku. Zidan, sesungguhnya aku benci sekali melihat mama menangis, terutama karna aku. Ya, karna penyakit sialan ini Zidan.
Zidan , sebelum helaan nafas ini tak terasa, sebelum mata ini memasuki labirin kegelapan, sebelum dunia tak ku sentuh lagi, aku ingin kamu tau,

Aku benar menyangyangi kamu. Lebih bahkan.Zidan, dari awal aku tau, kamu akan sukses dengan segudang mimpi kamu. Kamu pasti akan membuat orang tua mu bangga Zidan. Jadi, fokuslah! Raih semua itu dengan gelar mu kelak Zidan . Kamu gak perlu khawatir jika tak ada aku lagi yang membawelimu untuk skripsi atau mengsmsmu untuk ke kampus, atau menghubungimu untuk mengingatkan kamu ulangan, karna aku akan selalu melakukan itu selamanya dengan caraku sendiri kali ini.
Zidan sayang, maaf ya Mei-mu ini gak pernah berkata apa-apa. Aku hanya gak mau, kamu ngasianin aku. Lagipula, aku tahu kesembuhan itu mustahil untukku. Kesembuhanku adalah kematian. Kamu tahu Tumor otak kan  Zidan? Dia terus bersemayam di tubuhku hingga detik ini, tapi ku rasa tidak akan lama lagi dia akan pergi.

Zidan,berjanjilah kamu akan mewujudkan mimpi-mimpimu. Berjanjilah kamu akan mengukir kisah yang baru. Berjanjilah, kamu ngga akan ngelupain aku dan berjanjilah aku akan tetap punya tempat di hatimu sampai kapanpun.

Zidan, kali ini aku benar-benar lelah banget. Mataku terasa berat sekali, tanganku juga sudah bergetar hebat. Zidan, aku tidur dulu yah, meski takut akan labirin gelap, meski takut akan hilangnya helaan nafas, meski takut tak lagi menyentuh dunia, tapi aku lega sekali, aku akan sembuh. Sakit ini tak akan mengurungku lagi.
Zidan, jaga dirimu baik-baik sayang, terimakasih untuk satu tahun ini. Sebaiknya kamu cepat pulang dari taman itu karna aku tidak akan pernah datang. Selamat tinggal Zidan-ku, aku mencintai kamu...sangat Zidan.

 
Pada akhirnya, kematian selalu menyisakan luka untuk orang-orang yang di tinggalkannya. Tapi, kamu harus tahu. Raga boleh terkubur bumi, roh boleh terbawa mati, dunia boleh tak dikenal lagi, tapi cinta, akan selalu hidup di dalam hati.

The End...

 Author: Meliyana Aristya
Continue Reading...

Followers

Follow The Author