Malam ini Dam begitu tercengang mendengar cerita ayah yang menceritakan
tentang Si Nomor Sepuluh, yaitu seorang pemain bola terkenal kepada
putra-putrinya. Bahkan ayah bercerita bahwa dua hari yang lalu ayah
mendapat telepon dari Si Nomor Sepuluh. Zas dan Qon seakan tak percaya
bahwa pemain bola favorit mereka menelepon sang kakek, namun dengan
keahlian ayah berdongeng, ia dapat meyakinkan dua bocah kecil tersebut
bahwa sang kakek benar-benar berbincang dengan sang pemain bola. Dan
menceritakan dua monster kecil di rumah.
Mendengar cerita sang ayah, Dam kembali teringat masa kecilnya dulu,
jauh sebelum dia membenci ayahnya dan menganggap cerita-cerita ayah
adalah bohong.
Tiga puluh tahun yang lalu.
Saat itu Dam berusia 10 tahun, Dam mempunyai bentuk tubuh yang lumayan
tinggi, kulitnya hitam kecoklatan dan rambut keriting yang membuat Dam
selalu menjadi bahan olokan teman-temannya di sekolah, dan Dam membenci
nama panggilan tersebut. Namun, Jarjit teman sekelasnya sangat suka
melakukan hal tersebut karena itu bisa membuat Dam marah.
Malam itu Dam tengah duduk di depan televisi berukuran kecil di
rumahnya, ia sedang menunggu pertandingan bola dimulai. Dam tidak mau
diejek pengecut lagi oleh teman-temannya lantaran ia tidak menonton
bola. Saat pemain bola favoritnya masuk lapangan, Dam langsung berdiri
dan berteriak menyebut EL CAPITANO ! EL PRINCE ! membuat ayahnya tertawa
melihat tingkah laku anaknya tersebut.
Namun
sayang, 2 x 45 menit berlalu dan klub kebanggaan Dam kalah, ia sangat
kecewa karena sang Kapten kebanggaannya cedera. Ayah kemudian datang
menasehati Dam agar tidak bersedih, karena bukan Dam satu-satunya orang
yang kecewa atas kekalahan tersebut. Ayah terus berusaha menasehati Dam
agar dia tak bersedih lagi, tapi Dam masih tetap meraung atas kekalahan
tersebut. Ayah akhirnya mengeluarkan jurus andalannya yaitu bercerita.
Ayah mulai bercerita bahwa ia sangat mengenal sang Kapten saat dia
kecil.
Ayah Dam bercerita bahwa kapten kecil
pernah dipanggil si keriting pengecut – sama seperti nama panggilan Dam.
Ayah Dam mengetahui itu karena dulu dia tinggal di apartemen yang tak
jauh dari tempat sang Kapten dan keluarganya tinggal. Ayah pertama kali
berjumpa sang kapten saat umur kapten delapan tahun. Ayah sang Kapten
mati dalam perang saudara di negeri asal mereka dan mulai saat itu
kapten harus bekerja keras untuk melanjutkan hidupnya. Malam itu, karena
begitu lapar ayah memesan makanan di restoran terkenal, ayah begitu
marah karna pesanannya terlambat diantar. Setelah satu jam menunggu,
seorang anak kecil datang membawa pesanan ayah. Anak kecil tesebut
datang dengan basah kuyup karena hujan. Dan kalian tahu siapa anak kecil
tersebut ? Ya, dia adalah sang Kapten kebanggaan Dam sekarang, yaitu EL
CAPITANO ! Sang Kapten berdiri di depan pintu apartemen Ayah Dam dengan
kedinginan.
Saat umurnya delapan tahun sang
Kapten telah bekerja di restoran sup jamur tesebut, tubuhnya pendek, dan
badannya kerempeng. Ayah Dam merasa iba saat melihat sang Kapten basah
kuyup terkena hujan, maka dengan senang hati dia mengajak sang kapten
untuk masuk dan bercerita panjang lebar tentang sang Kapten dan
keluarganya. Mulai sejak itu Ayah Dam dan sang Kapten seperti menjadi
saudara, saling mengerti satu sama lain dan berbagi cerita.
Saat sang Kapten tengah cedera seperti sekarang, Ayah Dam juga begitu
yakin kalau sang Kapten akan terus bertanding pada pertandingan minggu
depan, karena kapten itu bukan orang yang pantang menyerah.
Malam itu, hingga dua tahun ke depan, kisah tentang sang Kapten
menyingkirkan cerita-cerita lain. Dam tidak tahu apakah cerita-cerita
ayah bohong atau benar. Yang jelas Dam tidak boleh menceritakan
cerita-cerita tersebut pada siapa pun termasuk ke ibunya. Dam begitu
heran kenapa ayah tidak mengizinkan Dam menceritakan hal tersebut. Dalam
hati kecilnya, Dam selalu bertanya, apakah ayah berbohong ?, tapi semua
itu ditepisnya karena Dam percaya bahwa ayahnya orang yang jujur dan
ayahnya bukan pembohong.
Keesokan harinya, Dam
pergi ke sekolah dengan sepedanya. Dam telat setengan jam dan guru
menghukumnya dengan berdiri di pojok kelas. Seperti biasa, Jarjit dan
teman-temannya tertawa dan mengolok-olok Dam. Namun Dam tak
menghiraukannya, karena hati Dam punya energy bahagia tak terbilang pagi
itu. Taani adalah satu-satunya teman yang tak mengejek Dam. Taani
begitu baik, cantik dan sempurna di mata Dam.
Pulang dari sekolah, Dam dijemputnya ayahnya dengan angkutan umum dan
langsung menuju ke klub renang kota tersebut. Hari ini adalah hari
penentuan apakah Dam layak untuk menjadi salah satu anggota klub renang
atau tidak.
Pada gelombang pertama, Dam
berhasil mencapai finish lebih dulu dari peserta yang laij, Namun saat
gelombang terakhir, semua peserta diwajibkan untuk berenang selama
mingkin dan hanya empat dari delapan peserta yang akan lolos. Dan Dam
gagal melakukannya. Dam adalah orang terakhir yang tersingkir dari tes
tersebut. Ayah Dam terus memberikan semangat kepada anaknya tersebut dan
mengatakan bahwa Dam masih bisa ikut seleksi tahun depan.
Malam itu Ayah Dam kembali bercerita tentang sang kapten. Ayah
bercerita bahwa sang Kapten dulu sangat ingin menjadi pemain bola yang
hebat, dia selalu berlatih menendang bola kasti karena dia tak mempunyai
uang untuk membeli bola sepak. Usia delapan tahun, sang Kapten ikut
antrian panjang seleksi pemain bola, namun sang kapten ditolak dengan
alasan tak punya biaya dan tak cukup tinggi bahkan sebelum bisa mencoba.
Dam mulai memahami bahwa kegagalannya tak ada apa-apanya dibandingkan
dengan sang Kapten, Dam sadar bahwa dia tidak boleh menyerah sampai di
sini, dia sudah bertekad untuk mengikuti seleksi tahun depan.
Keesokan harinya, Jarjit kembali mengejek Dam hingga akhirnya mereka
dihukum untuk membersihkan toilet sekolah. Saat sedang membersihkan
toilet, Taani datang dengan tergopoh-gopoh. Taani langsung memegang
tangan Dam dan mengatakan bahwa dam diberikan kesempatan sekali lagi
untuk mengulang seleksi renang oleh pelatih. Ternyata pelatih tersebut
adalah Ayah Taani dan Taani lah yang meyakinkan pelatih bahwa Dam berhak
mengulang, karena Taani sangat yakin kalau Dam akan menjadi perenang
yang hebat.
Lima hari setelah kabar tersebut, Dam
bergegas pergi ke klub renang untuk menyelesaikan kesempoatan keduanya.
Tes kali ini adalah berenang selama satu jam tanpa berhenti. Pada
menit-menit terakhir celana renang Dam melorot lepas, simpul karet
pinggangnya terlepas, namun Dam tetap nekat untuk melanjutkan tes
tersebut. Dan Dam berhasil menyelesaikan tesnya tersebut saat digital
stopwatch menunjukkan satu jam nol menit tiga puluh detik. Dam sangat
senang karena dia berhasil walaupun sebenarnya dia malu karena masalah
celana dalam yang terlepas. Setelah semua penonton bubar, Jarjit
mendatangi Dam dan mengejek dam seperti biasa. Dam akhirnya tahu bahwa
celana renangnya yang melorot disebabkan oleh Jarjit. Ya Jarjit lah yang
memotong simpul karet celana renang Dam. Sejak sore itu Dam memendam
sakit hati pada Jarjit.
Ayah Dam kembali
bercerita pada Zas dan Qon bahwa ternyata sang Kapten kebanggaan Dam
adalah paman Si Nomor Sepuluh, idola Zas dan Qon saat ini. Zas dan Qon
langsung bertanya pada kakek mereka, bagaimana sang kakek bisa tahu ?
Ayah Dam hanya mengatakan bahwa sang kapten sendiri yang
memberitahukannya.
Dam kembali teringat masa
lalunya. Ayahnya ternyata benar, sang Kapten menjadi inspirasi terbesar
Dam saat ini. Kini Dam menjadi seorang loper Koran. Ayahnya lah yang
menyarankan Dam agar ia dapat memanfaatkan waktu senggangnya dengan
berjualan koran seperti yang dilakukan sang Kapten saat dia masih kecil.
Walau sebenarnya keluarga Dam tidak mengalami kekurangan materi.
Enam bulan berlalu, pelatih klub renang menyiapkan Dam dan Jarjit
sebagai empat perenang di kelas estafet 4x100 meter, dan ini membuat Dam
sedikit kecewa.
Saat sarapan bersama ayahnya,
Dam bertanya, apakah dia bisa mengirimkan surat untuk sang Kapten ?
Namun ayahnya hanya terbatuk pelan dan menggeleng. Sebulan terakhir
masalah surat-surat itu membuat Ayah Dam sebal karena melihat Dam terus
merengek meminta alamat sang Kapten atau setidaknya ayah mau mengirim
surat tersebut untuk kapten.
Pagi itu, Dam
memberanikan diri untuk pamit berangkat sekolah dan minta maaf kepada
ayahnya atas kesalahan sebulan terakhir. Dam malah memberi satu amplop
surat untuk ayahnya dan bukan untuk sang kapten yang selama ini ia
impikan.
Isi suratnya adalah.
Dear
Ayah
Bagiku, sehebat apapun sang Kapten, maka ayah lebih hebat. Izinkanlah aku menulis surat untuk ayah, dan semoga ayah suka membacanya.
Ayah dulu pernah bilang padaku, “Jangan-jangan kau akan menjadi orang yang paling sedih sedunia jika malam ini tim sang Kapten
kalah.” Ayah keliru. Malam imi, saat sendirian di kamar, saat menyadari
bahwa ayah telah kurepotkan sebulan terakhir dengan permintaan itu, Ayah bahkan berteriak marah untuk pertama kalinya di rumah kita, aku jauh lebih sedih dibandingkan melihat tim sang Kapten kalah. Boleh jadi aku menjadi anak yang paling tidak berterima kasih di seluruh dunia.
Maafkan aku. Ayah benar, surat itu tidak penting. Sang Kapten
tidak akan pernah punya waktu untuk membaca surat dariku. Taani di
sekolah bilang, yang baru kusadari malam ini, pasilah ada ribuan surat
yang tiba di kotak surat sang kapten, jadi bagaimana mungkin suratku
akan mencolok perhatian dan mendapatkan balasan. Jangan-jangan hanya
puluhan stafnya yang membalas, bukan dia sendiri. Ayah benar, Taani
benar, jadi aku memutuskan mulai malam ini tidak akan membicarakan
surat-surat itu lagi.
Sekali lagi maafkan aku.
Dari penggemar terbesar Ayah sepanjang masa,
Dam.
Ibu Dam meletakkan surat itu di atas meja, sesunggukan, menyentuh jemari suaminya, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. “
Kau telah mendidiknya menjadi anak yang berbeda sekali…Sungguh dia akan
tumbuh besar dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala yang baik,
meski itu terlihat aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”
Hari ini, Dam kembali berkelahi dengan Jarjit, tapi kali ini lawannya
bukan hanya Jarjit, tapi juga empat kawannya. Dan jelas Dam lah yang
kalah. Dam sering kali mendapat perlakuan seperti ini, mulai dari hari
pertama ia sekolah Jarjit sudah terbiasa memukul Dam. Namun Dam hanya
diam, karena dia tidak suka berkelahi, itu melanggar separuh
cerita-cerita ayahnya. Hari itu Dam pulang dengan babak belur.
Esok harinya sekolah libur. Latihan klub renang dimulai sejak pagi. Dam
dan Jarjit telah bersiap untuk memulai perlombaan renang antara mereka
berdua, pagi itu hanya ada Dam dan Jarjit di klub renang. Jika Dam
kalah, dia harus mengaku pada semua orang bahwa dia adalah seorang
pengecut, dan jika Jarjit kalah, Jarjit lah yang harus berhenti mengejek
Dam pengecut.
Semalam sebelum pertandingan
dengan Jarjit, Dam mendapat telepon dari Taani. Taani menjelaskan pada
Dam mengapa Jarjit sangat membenci Dam. Ternyata yang membuat Jarjit
membenci Dam adalah karena setiap hari Jarjit selalu mendengar
pujian-pujian terhadap Dam, mulai dari papanya yang selalu membanggakan
Dam, bahkan sampai semua pembantu di rumah Jarjit membicarakan Dam dan
ingin mengenal sosok Dam yang selalu dibanggakan di rumah tersebut. Dam
hanya bisa menelan ludah mendengar cerita Taani, baginya ini sungguh
tidak masuk akal.
Kembali ke pertandingan,
pertandingannya amat sederhana. Siapa yang lebih dulu menyelesaikan
jarak 4x100 meter, dialah yang menang. Pertandingan antara keduanya
terus berlanjut, sepuluh meter lagi Dam akan berhasil memenangkan
pertandingan, namun dibelakangnya, Jarjit terlihat meminta tolong pada
Dam, Jarjit hamper mati tenggelam. Dam sangat panik dan langsung
menolong Jarjit keluar dari kolam renang dan membawanya ke rumah sakit
menggunakan angkutan umum. Saat di angkutan umum Dam memangku Jarjit dan
mata mereka bersitatap sejenak. Saat itulah Dam tahu bahwa masalah
mereka kini sudah selesai, tidak ada lagi sinar kebenciaan di mata
Jarjit.
Malam itu, saat makan malam, Dam begitu
terkejut karena mendapat surat yang diantar oleh seorang tukas pos. Dam
terkejut bukan karena tukang pos mengantar surat tengah-tengah malam,
tapi terlebih karena amplop surat itu datang dari seberang lautan dengan
logo kebanggaan tim besar Dam. Tanpa Dam sadari, ternyata ayahnya
mengambil surat-surat untuk sang kapten hang dulu dibuang Dam ke kotak
sampah, dan ayahnya mengirimkan surat tersebut ke sang kapten.
Hanya Taani yang tahu semua cerita Ayah Dam tentang sang kapten dan
tentang surat-surat tersebut. Dam begitu senang menceritakan semua itu
pada Taani, sampai dia lupa bahwa ayahnya selalu berpesan bahwa itu
hanya rahasia antara ayah dan anak. Kebahagiaan Dam bertambah besar
karena dia dan Jarjit lolos menjadi wakil klub dalam lomba renang
nasional.
Hari itu, Taani membuat Dam benar-benar
marah, karena Taani menulis semua cerita-cerita Dam tentang sang kapten
di buku diarynya dan lupa membawa pulang buku tersebut. Dan berita
hebat pun datang, semua penghuni sekolah Dam kini tahu bahwa Ayah Dam
mengenal sang kapten, dan mereka semua seakan berebut untuk
diperkenalkan ke sang kapten. Setelah kejadian ini, Dam mulai menjaga
jarak dengan Taani dan tidak menganggap Taani sebagai teman dekatnya
lagi.
Hari penting bagi Dam dan anggota klub
renang tiba. Hari ini Dam, Jarjit dan anggota klub renang akan berlomba
memperebutkan juara nasional. Dam dan Jarjit serta dua anggota lain siap
bertanding pada nomor estafet 4x100 meter dengan gaya bebas. Suara
tembakan tanda start terdengar. Bagai elang Jarjit melompat ke dalam
kolam. Jarjit adalah perenang dengan start terbaik di kejuaraan ini, dan
Dam jelas juga jadi yang terbaik. Klub renang mereka berhasil membawa
pulang piala kemenangan nasional pada nomor estafet 4x100 meter dan
beberapa piala lainnya. Dan ini tidak terlepas dari semangat semua
anggota klub dan persahabatan antara Dam dan Jarjit.
Sebagai hadiah atas kemenangan Dam, ayahnya kemudian membeli tiga tiket
VIP untuk melihat langsung pertandingan persahabatan antara klub sepak
bola kota mereka dengan klub sang kapten kebanggaan Dam. Selama
hidupnya, baru kali ini ayahnya membeli benda paling mahal secara tunai.
Malam itu Dam langsung memeluk erat ayah dan ibunya dan mengucapkan
terima kasih. Saat menonton pertandingan tersebut, Dam dan penonton
lainnya begitu semangat memberi dukungan. Peluit panjang kemudian
dibunyikan, dan sang Kapten kebanggaan berhasil mencetak dua gol.Saat
akan keluar dari lapangan dan kembali ke ruang ganti, sang Kapten sudah
begitu dekat dengan Dam, Dam berencana akan memberikan kausnya untuk
ditanda tangani sang Kapten. Tapi ayahnya langsung menarik tangan Dam
dan mengajaknya pulang tanpa memberi kesempatan bagu Dam untuk melawan.
Dam begitu kecewa kepada ayahnya. Sejak pertandingan persahabatan itu,
cerita tentang sang Kapten ditutup dari pembicaraan Dam dan ayahnya.
Tiga tahun melesat dengan cepat, usia Dam sekarang lima belas tahun.
Dia dan teman-temannya sudah lulus SMP dan ayahnya mengirim Dam ke
sekolah berasrama antah berantah di uar kota yang sebelumnya tidak
pernah didengar Dam. Nama asrama yang dimaksud Dam adalah Akademi Gajah.
Di asrama ini lah Dam mendapat banyak teman baru. Selama tiga tahun di
Akademi Gajah, Dam kehilangan kesibukan menjadi loper koran, kehilangan
malam-malam bersama ibu dan di atas segalanya, Dam kehilangan
cerita-cerita ayahnya yang menyenangkan. Cerita-cerita yang bisa
memunculkan rasa tenteram, mengusir rasa sedih.
Selama tiga tahun di Akademi Gajah, Dam juga mendapat banyak pengalaman
baru, misalnya dihukum menunggui apel jatuh bersama Retro teman
sekelasnya, dihukum membereskan dapur asrama, belajar memanah walau
sasarannya selalu meleset, dihukum membereskan pustaka selama sebulan
penuh dan kegiatan yang sangat di sukai Dam adalah menggambar sketsa
bangunan sekolah dan Akademi Gajah.
Saat tahun
kedua di Akademi Gajah, Dam dan Retro dihukum membereskan pustaka
asrama. Ini adalah hukuman yang diharapkan oleh Dam, karena dengan
berada di gedung pustaka dia bisa banyak membaca buku dan terlebih
karena dia dapat menggambar sketsagedung pustaka tersebut. Dan Retro
selalu saja mempersoalkan tentang hukuman ini.
Hingga hari ke dua puluh enam, Retro mulai terbiasa dengan kegiatan
barunya dan tengah menikmati buku bacaannya, tiba-tiba Dam menarik buku
yang tengah dibaca oleh Retro. Sebuah buku tua yang judul depannya tak
lagi asing baginya. Dam kemudian membaca beberapa paragraf dan beberapa
halaman buku tersebut. Semua detail cerita buku tersebut sama persis
dengan cerita pengalaman hidup ayahnya. Di dalam buku tua tersebut
menceritakan cerita tentang Apel Emas Lembah Bukhara seperti yang
diceritakan ayahnya. Cerita ini adalah salah satu cerita favorit Dam
saat masih kecil. Lembah Bukhara adalah tempat pemberhentian pertama
ayahnya setelah enam bulan meninggalkan kota mereka, pergi berpetualang.
Itulah yang diceritakan ayahnya kepada Dam. Tapi kenapa sekarang cerita
tersebut ada dalam sebuah buku dogeng ? Kenapa cerita ayah sama persis
dengan yang ada di dalam buku ? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus
terngiang-ngiang di telinga Dam sekarang.
Dam
kemudian mencari buku tua lainnya, dia berharap dapat menemukan lebih
banyak buku tua yang ceritanya sama persis dengan cerita ayahnya. Dan
benar saja, Dam menemukan sebuah buku tua lainnya berjudul Suku Penguasa Angin. Isinya sama Persis seperti cerita ayahnya. Inilah cerita petualangan Ayah Dam berikutnya.
Saat berpetualang Ayah Dam kehabisan bekal dan telah sampai di sebuah
padang pengembalaan luas di sebelah utara. Suatu malam kaki ayah Dam
gemetar, matanya berkunang-kunang, hanya soal waktu semua akan berakhir.
Penat fisik juga penat hati, bercampur aduk. Saat itulah terdengar
seruan-seruan kencang. Derap lari ribuan ternak. Tetapi, mata Ayah Dam
mengerjap-ngerjap, dia begitu kaget karena penggembala tidak datang
dengan menaiki kuda, tapi mereka mengendarai layang-layang raksasa,
terbang di atas kepala Ayah Dam. Merekalah yang disebut dengan Suku
Penguasa Angin. Saat Ayah Dam akan pergi melanjutkan perjalanan
pulangnya, dia diberikan hadiah istimewa oleh Kepala Suku Penguasa Angin
yang biasa dipanggil dengan Tutekong. Tutekong mengantar Ayah Dam ke
titik terluar wilayah penggembalaan mereka dengan menaiki laying-layang
legendaris, diiringi belasan pengembala lainnya. Itu pengalaman yang
menakjubkan bagi Ayah Dam. Melihat mereka berseru-seru menggiring ternak
dari atas langit. Tetukong membuat laying-layang berputar, meliuk,
bahkan bersalto di atas awan.
Tahun kedua di
Akademi Gajah telah dilewati oleh Dam. Saat liburan, seperti biasa Dam
akan pulang ke rumahnya, bertemu ayah dan ibunya. Saat sampai di rumah,
Dam begitu sedih karena ibunya sedang sakit. Hingga libur panjang hampir
usai, Dam menghabiskan waktu dengan menemani ibunya, menceritakan
banyak hal tentang Akademi Gajah dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
rumah. Malam sebelum liburan berakhir, mereka merayakan ulang tahun ibu
di teras rumah. Dam memberi ibunya kartu ucapan sebagai kado. Dan ibunya
sangat terharu dan berkata bahwa itu kado terindah yang pernah
diterimanya. Kartu itu bertuliskan “Selamat ulang tahun, Ibu. Kau wanita nomor satu dalam hidupku”.
Di malam itu juga, Dam bertanya pada ayahnya, apakah Apel Emas Lembah
Bukhara sungguhan ? Apakah ayah pernah membaca buku tentang
dongeng-dongeng itu ? Mendengar Dam bertanya seperti itu, ayahnya sangat
tersinggung, dia kecewa karena Dam menganggap cerita-ceritanya adalah
bohong. Padahal semua orang tahu bahwa ayahnya tak pernah berbohong.
Saat mengantar Dam ke stasiun kereta keesokan paginya, Dam dan ayahnya
masih terlihat canggung satu sama lain karena peristiwa semalam.
Tahun ketiga di Akademi Gajah. Dam mulai disibukkan dengan kegiatan
barunya, yaitu membantu perkampungan dekat Akademi Gajah. Setiap soere,
Dam membantu menangkap ikan, dan pekerjaan lainnya. Dam juga meminta
izin kepada kepala sekolah untuk membuka kesempatan bekerja untuk murid
lainnya, dan kepala sekolah menyetujui usulan Dam. Setelah sebulan
bekerja, Dam menyisihkan gajinya tersebut untuk biaya perawatan ibunya
yang sakit, dan jumlahnya akan semakin bertambah selama Dam rajin
bekerja.
Ruang kerja Dam, hari ini.
Dam
marah besar, karena dia mendapatkan surat dari sekolah Zas dan Qon.
Isinya adalah bahwa orang tua Zas dan Qon dipanggil kepala sekolah,
karena sudah dua hari berturut-turut dua anaknya bolos sekolah. Hari
pertama mereka pulang lebih cepat. Hari kedua mereka bahkan tidak masuk
sekolah dari pagi. Dam dengan tidak sabar menunggu kedua anaknya pulang
dan langsung bertanya apa alasan mereka bolos sekolah. Istri Dam terus
menasehati dam agar dia tidak marah-marah kepada anak-anak. Ternyata
selama bolos sekolah Zas dan Qon pergi ke perpustakaan kota untuk
mencari tahu tentang cerita-cerita sang kakek.
Malam itu juga, dam langsung berbicara dengan ayahnya tentang kenakalan
Zas dan Qon, tentang bolos sekolah untuk mencari tahu kebenaran dari
cerita-cerita sang kakek. Mereka memeriksa seluruh daftar buku,
mengelilingi semua rak, membaca setiap bab. Mereka bolos tiga hari untuk
memenuhi rasa ingin tahu apakah kakek tersayang mereka sedang berbohong
atau sungguhan saat menceritakan petualangan hebat masa mudanya. Dam
memohon pada ayahnya untuk berhenti bercerita pada Zas dan Qon dan
menjelaskan pada mereka bahwa cerita-cerita itu bohong. Tapi Ayah Dam
tetap bilang bahwa cerita itu sama sekali bukan rekayasanya.
Saat Dam berada di ruang kerjanya, Zas masuk menemui Dam dan meminta
maaf karena sudah membuat papanya marah. Dan memberikan sebuah surat
untuk Dam, yang isinya.
Dear Papa,
Tiga hari ini kami dihukum di sekolah, disuruh menulis “Kami janji
tidak akan bolos sekolah lagi” sebanyak sepuluh lembar penuh kertas
folio dengan huruf kecil-kecil setiap hari. Tangan Zas seperti kebas,
pegal, gemas, padahal baru di halaman delapan. Qon bahkan menangis,
meski jumlah halamannya separuh dari Zas. Dia belum pandai menulis, dan
ibu guru galak menyuruhnya mengulang jika tulisannya tidak rapi.
Tetapi hukuman di sekolah tidak ada apa-apanya dibandingkan hukuman
yang Papa berikan. Jangan cuekin kami lagi ya, Pa. Tidak mengapa Zas dan
Qon disuruh masuk kamar, dilarang main selama seminggu, disuruh
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, tapi jangan cuekin kami lagi. Qon
semalam bahkan bertanya, apakah Papa membencinya? Apakah Qon harus
pergi dari rumah? Zas bingung menjawabnya. Lagi pula kalau Qon harus
pergi, belum tentu juga ada keluarga yang mau ditumpangi ya, Pa. Dia kan
paling malas bangun pagi, makan paling banyak, dan paling berisik dalam
rumah. Jadi karena Zas tidak bisa menjawabnya, dan Qon terus menangis
di kamar, Zas akhirnya memutuskan menulis surat saja ke Papa.
Ini semua salah Zas. Seharusnya Zas mendengarkan kalimat Papa, tidak
penting cerita Kakek itu bohong atau sungguhan. Papa benar, anggap saja
seperti menonton film yang seru. Sungguh maafkan Zas. Tidak mengapa Papa
marah pasa Zas, tapi Papa tidak boleh marah pada Qon, juga tidak boleh
marah pada Kakek, tidak boleh marah pada Mama, semuanya salah Zas. Itu
ide Zas pergi ke perpustakaan kota. Kami tidak akan bolos lagi, Pa.
Janji.
Zas dan Qon, penggemar Papa nomor satu.
Dam sangat terharu membaca surat dari anaknya tersebut.
Ruang makan Akademi Gajah
Saat sedang makan, petugas senior meneriakkan nama Dam di pintu ruang
makan. Keras sekali. Dam ragu-ragu berdiri, petugas senior itu
mengatakan bahwa Dam ditunggu kepala sekolah di ruangannya. Dam begitu
takut, karena dia berfikir bahwa kepala sekolah mengeluarkannya dari
Akademi Gajah, karena malam sebelumnya Dam melakukan kesalah besar.
Yaitu ikut berburu dengan tim pemburu sekolah. Padahal tiga minggu lagi
ujian lulusan akan dilaksanakan. Kepanikan Dam bertambah saat kepala
sekolah mengatakan “Kau harus segera berkemas, Dam.”
Dam langsung mengigit bibir. Itu memang kejahatan nomor satu, ikut
berburu ke dalam hutan tanpa izin, membahayakan semua anggota lain.
Tamat sudah tiga tahun luar biasaku di Akademi Gajah. Pikir Dam dalam
hatinya. Ternyata pemikiran Dam salah. Maksud kepala sekolah menyuruh
Dam segera pulang bukan karena dia dikeluarkan tetap karena Ibu Dam
sakit keras, dan tadi malam dibawa ke rumah sakit.
Dam berlari melintasi lorong, menaiki anak tangga, membongkar koper
besar, memindahkan uang yang dia kumpulkan setahun terakhir ke dalam
ransel dan langsung berlari meninggalkan Akademi Gajah. Sepanjang malam
Dam bergumam gelisah. Mendesahkan doa ke langit-langit gerbong dan
berdoa agar ibunya sembuh. Saat sampai di rumah sakit, Dam begitu sedih
melihat ibunya terbaring lemah di ranjang. Kepalanya sudah digunduli.
Selang infuse dan belalai menghujam atas-bawah, kiri-kanan. Ibu belum
siuman sejak jatuh pingsan kemarin sore. Dokter bilang kondisinya
stabil. Itu kabar yang didapat Dam dari ayahnya. Ayah juga bilang kalau
ibu akan sembuh dan akan baik-baik saja. Tapi Ayah Dam bohong. Saat Dam
selesai menumpang mandi di toilet rumah sakit. Ibu dibawa kembali ke
ruang gawat darurat. Dokter bilang komplikasinya menyebar ke mana-mana.
Kenapa Ayah tak pernah cerita setahun lalu kondisi ibu memburuk? Itu
pertanyaan pertama Dam saat dokter meninggalakan mereka. Ayahnya hanya
diam, kemudian bilang kalau mereka tidak ingin membuat Dam cemas dan
mengganggu sekolah Dam. Dam menyergah dan mengatakan bahwa seharusnya
ibunya menjalani perawatan panjang itu, dan ayahnya hanya bilang kalau
itu semua percuma. Malam itu terjadi perdebatan panjang antara Dam dan
ayahnya.
Ayah menceritakan kepada Dam bahwa dua
puluh tahun yang lalu, saat ayah dan ibu Dam baru saja menikah, si Raja
Tidur bilang bahwa semua sakit ada obatnya kecuali tua.
Sayangnya,pengetahuan medis saat itu belum cukup memadai untuk mengobati
kelainan bawaan Ibu Dam. Si Raja Tidur adalah ayah angkat Ayah Dam, dia
mempunyai empat gelar professor dan delapan bidang ilmu pengetahuan
yang dikuasainya, termasuk ilmu kedokteran. Si Raja tidur bilang bahwa
tidak ada obat yang dapat membuat ibu sembuh. Satu-satunya yang membuat
Ibu Dam bertahan adalah rasa bahagianya. Semakin bahagia dirinya,
semakin lama dia bertahan. Dua puluh tahun Ibu Dam bertahan dalam
sakitnya. Ibu Dam benar-benar bahagia dua puluh tahun terakhir.
Tapi Dam membantah. Dam tahu ibu tak pernah bahagia selama dua puluh
tahun terakhir. Dua puluh tahun ibunya hidup apa adanya. Sehat empat
bulan, jatuh sakit satu-dua minggu. Dam tidak pernah melihat ibunya
tertawa bahagia, kecuali tersenyum atau menangis terharu. Ibunya tidak
punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat mengurus rumah.
Kehidupan ibunya hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia, tetapi
ibu tidak pernah mengeluh. Itulah yang dia tahu tentang kehidupan
ibunya.
Ayah Dam masih tetap pada pada keyakinannya
bahwa definisi kebahagian Ibu Dam berbeda dengan kebanyakan orang. Ayah
Dam bilang bahwa definisi kebahagian ibu bukan tentang uang atau
jabatan, tapi kebahagian ibu adalah dengan melihat Dam tumbuh dewasa dan
sukses serta melihat keluarga kecilnya bahagia.
Dam
berteriak pada ayahnya, Dam bilang pada ayahnya bahwa dia tidak pernah
percaya lagi cerita-cerita ayah. Si Raja Tidur, apel emas, layang-layang
raksasa, itu hanya ada di buku cerita. Dan ayah hanya
mengarang-ngarangnya dari sana. Ayah Dam langsung menatap anaknya
setengah tidak percaya. Kalimat Dam telah menyinggung harga dirinya dan
menyakitinya. Dam kemudian beranjak berdiri, merapat ke jendela operasi.
Di dalam sana, tubuh ibunya terlihat berontak dan dokter bergegas
melakukan sesuatu. Tapi usaha mereka sia-sia. Ibu Dam tak dapat
diselamatkan.
Saat itu Dam berdiri dengan seluruh
kesedihan di hatinya. Tanah pekuburan lengang, para pelayat sudah
pulang, termasuk keluarga besar Jarjit, walikota, pelatih, kepala
sekolah SMP Dam dulu, bos loper koran, kerabat, tetangga dan kenalan
yang sebagian besar tidak dikenali Dam. Satu persatu mereka membentuk
antrean panjang menyalami Dam dan ayahnya.
“Belum pernah ada pemakaman seramai ini.” bisik salah satu pelayat
“Kau benar, sepertinya seluruh kota berkumpul.” Rekannya mengangguk
Dam tak peduli, satu orang pelayat atau seribu orang yang datang, itu semua tetap tidak mengubah kesedihannya.
Saat Dam mulai sedikit lapang dari sesak kesedihan, mulai bisa keluar
rumah setelah berhari-hari mengurung diri, Dam menumpang kereta kembali
ke Akademi Gajah, ujian kelulusan sudah selesai berminggu-minggu lalu.
Dam tidak sempat mengikuti ujian kelulusan di Akademi Gajah. Halaman
rmput asrama lengang, libur panjang, murid-murid pulang.
Dam
menemui kepala sekolah. Dia begitu terkejut saat kepala sekolah
memberikan ijazah kelulusan untuk Dam. Dam lulus dari Akademi Gajah.
Nilai sempurna untuk kelas menggambar dan pengetahuan alam. Nilai
rata-rata untuk enam pelajaran lainnya, serta nilai cukup untuk memanah,
dan satu lagi, dua penghargaan tertinggi dari Akademi Gajah. Satu,
untuk pencapaian dalam mengembangkan hubungan baik dengan penduduk
perkampungan. Dua, untuk pencapaian dalam mengembangkan pemahaman hidup
yang bersahaja. Itu yang dijelaskan oleh kepala sekolah.
“Tetapi aku tidak mengikuti satu ujian pun. Bagaimana mungkin aku dianggap lulus?” Dam bertanya
“Kau seperti melupakan betapa luar biasanya sekolah di Akademi Gajah, Dam,” Kepala sekolah berkata takzim. “Kami
tidak mendidik kalian sekedar mendapatkan nilai di atas kertas. Seluruh
kehidupan kalian tiga tahu terakhir, dua puluh empat jam, baik di kelas
ataupun tidak adalah proses pendidikan itu sendiri. Itulah penilain
yang sebenar-benarnya. Kau lulus dengan baik, Dam.”
Dam terdiam, memeriksa map biru pemberian kepala sekolah. Namanya
tertulis indah dan rapi di atas selembar ijazah, juga dua penghargaan
tertinggi yang dia dapatkan. Satu amplop putih terjatuh dari map.
“Ah
ya, aku lupa, itu surat pengantar dari Akademi Gajah. Besok lusa kalau
kau ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, kau berikan
surat itu ke mereka. Ssttt, aku beritahu kau rahasia
kecil sekolah kebanggaan kita ini, bahkan universitas ternama di seluruh
dunia tidak bisa mengabaikan surat pengantar Akademi Gajah.” Kepala sekolah tersenyum
“Nah,
Dam, selamat melanjutkan hidup. Apa kata pepatah, hidup harus terus
berlanjut, tida peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan,
biarkan waktu yang mnjadi obat. Kau akan menemukan petualangan hebat
berikutnya di luar sana.” Kepala sekolah berkata dengan bijaksana.
Dan apa yang dikatakan kepala sekolah benar adanya. Dam diterima masuk
universitas dengan jurusan arsitektur, itu jurusan terbaik di seluruh
negeri. Padahal Dam terlambat mendaftar dan terlambat masuk hampir satu
bulan. Dam diterima, bahkan tanpa melewati satu soal ujian pun. Dam
hanya menyerahkan selembar surat pengantar dari Asrama Gajah, dan Dam
resmi menjadi seorang mahasiswa arsitektur. Menurut Dam, sekolah di
Akademi Gajah sama tidak masuk akalnya dibanding cerita tentang apel
emas atau Suku Penguasa Angin.
Uang yang ditabung Dam
setahun terakhir digunakannya untuk biaya kuliah dan menyewa flat kecil
dekat kampus. Dam memutuskan meninggalkan rumah agar lebih dekat dengan
kampusnya. Ayahnya hanya menapat datar saat Dam berpamitan. Sejak hari
itu dam jarang bertemu dengan ayahnya. Hanya sesekali saat rasa rindu
pada ibunya muncul, Dam menyempatkan diri singgah. Itupun hanya
sebentar,
Waktu berjalan cepat. Dua tahun Dam di
tempat baru, kehidupan baru, dan mungkin kesendirian yang baru. Hari itu
Dam pergi ke gedung jurusan ilmu pasti, Dam akan mengikutsertakan denah
gambarnya dalam lomba desain. Terlebih dulu, Dam menacri makan di
kantin jurusan tersebut. Tak disangka dan tak diduga, ternyata di sana
Dam bertemu dengan Taani, sahabatnya dulu.
“Kau Dam, kan ?” Taani menyeringai lebar saat berpapasan dengan Dam
Dam termangu melihat Taani
“Kau pasti Dam.” Taani tertawa.” Tidak
ada mahasiswa yang akan ringan tangan memberikan antrean pada selusin
perempuan yang ketawa-ketiwi, hanya tersenyum saat petugas kantin bilang
tidak ada kembalian, atau sekedar menyeringai datar ketika mejanya
diserobot. Tidak ada orang dengan kebaikan sedetail itu. Kau pasti Dam.”
Taani menjelaskan dengan penuh semangat.
Dalam
hitungan menit, Dam dan Taani kembali menjadi teman dekat. Taani
sekarang kuliah di jurisan biologi. Dia ingin jadi florist dan punya
toko bunga. Mereka juga menceritakan teman-teman lama. Johan sekarang
kuliah di kota lain, tapi Taani lupa Johan ambil jurusan apa. Jarjit
katanya satu kampus dengan anak-anak presiden seluruh dunia. Dan Papa
Taani sudah berhenti melatih, dia pensiun sekarang. Klub renang Dam dulu
tetap menjaga reputasi hebatnya. Nomor estafet yang dimenangkan Dam
dulu tidak pernah terkalahkan enam tahun terakhir. Taani dan Dam
berpisah saat Dam harus segera menyerahkan selusin sketsa desainnya.
Malam itu, malam festival kembang api. Dam diundang ke rumah Taani,
untuk acara makan malam keluarga. Mereka ingin bertemu Dam. Sudah hampir
dua tahun Dam mengenal kembali Taani. Kuliah Dam di jurusan arsitektur
memasuki tahun-tahun terakhir. Taani bahkan sudah menyelesaikan tugas
akhirnya, lulus lebih cepat dibanding siapa pun. Keluarga kecil Taani
yang datang malam itu begitu ramai. Keluarga kecil yang begitu ramai,
itu yang dipikirkan Dam saat itu. Malam itu Dam menjadi bahan gurauan
keluarga itu sepanjang makan malam. Taani pandai membuat Dam akrab
dengan keluarganya. Saat beberapa anggota keluarga pamit pulang. Dam
berdiri menatap langit yang terang oleh kembang api. Papa Taani ikut
berdiri di samping Dam
“Apa kabar ayah kau, Dam?” Papa Taani bertanya.
“Baik, pelatih. Ayah baik dan sehat,” Dam menjawab.
Papa Taani tertawa dan menepuk buku Dam. “Kau tidak akan terus memanggilku pelatih, bukan ?”
Dam menggeleng patah-patah.
“Sampaikan
salamku padanya, Dam. Aku senang sekali saat tahu putra ayah kau yang
datang makan malam bersama kami. Ini kehormatan. Kami percaya, kau akan
menjaga Taani dengan baik.”
Mungkin karena
perasaan canggung, grogi, atau entalah, Dam jadi mangabaikan betapa
menyenangkan melihat wajah platih saat mengatakan kalimat itu. Bahkan
setahun kemudian saat pernikahan Dam dan Taani, Dam tidak perlu melamar
Taani.
Sebulan setelah makan malam dengan keluarga
Taani, Dam membawa Taani menemui ayahnya. Malam itu, setelah sekian lama
menolak permintaan Taani untuk berjumpa dengan ayahnya, Dam tidak bisa
menghindar lagi. Taani begitu bersemangat ingin berjumpa dengan calon
mertuanya. Umur Ayah Dam enam pluh tahun saat Dam membawa calon istrinya
ke rumah. Rambut ayahnya sekarang separuh beruban dan separuhnya lagi
rontok. Sejak Ibu Dam meninggal empat tahun lalu, kondisi fisik ayah
berubah drastis. Tubuhnya lebih kurus. Raut mukanya lebih redup.
Makam
malam itu tidak semenakutkan yang Dam duga. Taani menyenangkan,
memperlakukan Ayah Dam dengan hormat. Dan ayah bersikap bijak. Malam itu
saat Dam akan mengantar Taani pulang dan pamit untuk langsung ke flat
sewaannya. Ayah Dam mengantar mereka berdua sampai ke pintu rumah.
“Apakah ayah boleh memelukmu, Dam?” Ayah Dam bertanya.
Dam
langsung salah tingkah. Baiklah, tidak ada salahnya memberi ayah satu
pelukan. Pikir Dam. Terakhir kali Dam memeluk ayahnya lima-enam tahun
lalu atau mungkin lebih dari itu.
Dam keliru.
Dam pikir, surat maaf dari Zas dan Qon sudah menyelesaikan masalah.
Ayahnya juga belakangan berkurang drastis bercerita pada Zas dan Qon.
Sebulan berlalu, Dam tidak mengungkit lagi pembicaraan malam-malam
setelah surat panggilan dari sekolah Zas dan Qon. Zas dan Qon kembali ke
rutinitas sekolah. Taani sibuk dengan toko bunganya.
Saat pulang ke rumah, Dam melihat Zas dan Qon sedang asyik membuka
laptop kerja Dam. Mereka sudah terbiasa memankan laptop kerja ayahnya,
tapi malam itu Dam begitu marah karena melihat Zas tengah mencari entri
nama Akademi Gajah di kolom mesin pencari dunia maya, di bawahnya
tertulis, tidak ditemukan laman yang cocok dengan kata di atas.
Dam sangat marah karena dia sudah bilang ke ayahnya untuk menghentikan
cerita-cerita itu. Dan tidak ada lagi yang boleh melanggar peraturan di
rumah tersebut. Saat Dam bertanya pada kedua anaknya, dari mana mereka
tahu Akademi Gajah, Zas dan Qon mengatakan dengan takut-takut bahwa
mereka tahu itu dari cerita kakek. Dam juga begitu marah saat tahu kalau
ayahnya juga menceritakan cerita tentang ibunya. Bercerita pada Zas dan
Qon bahwa dulu nenek mereka adalah seorang bintang televisi. Saat itu
emosi Dam langsung meledak. Dengan cepat dia menyuruh Zas dan Qon untuk
masuk kamar. Semenara Zas dan Qon terus memohon kepada ayah mereka untuk
tidak marah pada sang kakek.
Dam teringat masa
lalunya. Dulu dia juga marah. Hari itu presentasi akhir kelulusan Dam.
Taani menemaninya menunggu di luar ruang sidang. Saat itu Taani
menceritakan cerita Ayah Dam tentang ibunya. Taani bilang bahwa dulu Ibu
Dam adalah seorang bintang televisi terkenal, karier ibu menanjak,
sibuk siang-malam, hingga Ibu Dam divonis menderita penyakit kelainan
bawaan itu, cepat lelah, mudah jatuh sakit. Tapi Dam tidak percaya
dengan cerita ayahnya yang disampaikan kepada Taani. Coba pikir pakai
logika. Kalau ibu dulu bintang televisi terkenal, kenapa dia hanya
menjadi ibu rumah tangga, mengurus keluarga tanpa pembantu dan kenapa
juga ibu mau menikah dengan ayah yang hanya seorang pegawai negeri
rendah yang terlalu jujur dan sederhana.
Mendengar
perkataan Dam itu, Taani begitu marah dan langsung pergi meninggalkan
Dam. Gara-gara permasalahan itu Dam dan Taani bertengkar serius.
Berhari-hari Taani menolak berbicara dan bertemu dengan Dam. Saat Dam
berkunjung ke rumah Taani untuk meminta maaf, dia selalu membawa bunga
untuk Taani. Hari itu Dam berhasil membujuk Taani untuk keluar kamar dan
menyelesaikan permasalahan antara mereka.
Enam bulan
kemudian, Dam dan Taani menikah. Karena Taani memaksa tempat pernikahan
dipindahkan ke rumah Ayah Dam, maka acara dilaksanakan di sana. Seluruh
kota seperti berkumpul di rumah kecil mereka. Dua tahun kemudian, Zas
putra pertama Dam dan Taani lahir. Toko bunga Taani berkembang pesat. Ia
punya kebun di lereng bukit kota. Karier Dam sebagai seorang arsitek
juga berkembang pesat. Desain terakhir Dam untuk sebuah bangunan teater
mewah mengundang perhatian banyak orang. Mereka sibuk bertanya dari mana
ide desain secemerlang itu. Sebenarnya, meskipun menbenci cerita-cerita
ayahnya, Dam selalu menjadikannya sumber inspirasi tidak terbatas.
Cerita-cerita yang didenganya saat kanak-kanak itu berubah menjadi
imajinasi tentang bangunan.
Setelah dua tahun menikah
dengan Taani, Taani mulai meminta kepada Dam untuk mengizinkan Ayah Dam
tinggal bersama mereka dengan alasan bahwa ayah sudah terlalu tua untuk
tinggal sendiri di rumah sederhananya. Dua tahun berselang dari
kelahiran Zas, Taani dan Dam kembali dianugerahkan seorang bayi
perempuan. Putri mereka itu diberi nama Qon. Waktu berjalan cepat, kini
usia Zas sudah enam tahun dan usia Qon empat tahun. Toko bunga Taani
bertambah menjadi dua. Dan Dam berhasil menyelesaikan studinya tentang
teknik fisika dan elektronika. Taaninberkali-kali mengajak Zas dan Qon
mengunjungi kakek mereka, membiarkan ayahnya bercengkerama dengan
cucu-cucu menggemaskan. Semua itu dilakukan Taani sebagai usahanya untuk
meyakinkan Ayah Dam agar mau tinggal bersama mereka. Dan tepat setahun
kemudian ayah siap untuk meninggalkan rumah kecil itu dan pindah ke
rumah Dam dan Taani.
“Aku tidak akan membiarkan ayah meracuni Zas dan Qon dengan cerita-cerita bohongnya,” Dam berbicara dengan tegas.
“Tidak bisakah kau bicara baik-baik, Dam?” Taani melotot. “Mari
kita mulai pembicaraan dengan menyingkirkan lebih dulu cerita itu
bohong atau tidak. Ada ratusan dogeng ayah yang tidak mengungkit-ungkit
apakah dia terlibat dalam cerita. Toki si Kelinci Nakal misalnya. Itu dogeng yang baik. Zas dan Qon senang medengarnya.”
“Zas dan Qon sudah?Meraka sudah mendengarnya ?”
“Saat
mereka mengunjungi ayah seminggu lalu. Saat pulang, Qon bahkan memegang
tanganku. Dengan mata bekerjap-kerjap, Qon berkata,’Qon sayang Mama.
Qon tidak akan nakal lagi seperti Toki si Kelinci.’” Jelas Taani dengan
mata berkaca-kaca.
Dam terdiam. Itu menjelaskan kenapa Qon juga tiba-tiba menyeruak ke ruang kerjanya, naik ke atas pangkuan Dam, dan berkata “Qon
sayang Papa. Qon tidak akan berteriak-teriak dan merepotkan Papa lagi
kalau mau ke kamar mandi, Qon juga sayang Mama. Qon tidak akan nakal
lagi seperti Toki si Kelinci.” Dam begitu terharu mendengar kalimat dari putrinya yang saat itu masih lima tahun.
Taani
terus membela Ayah Dam. Taani bilang bahwa tidak semua cerita-cerita
ayah buruk. Bahkan itu bisa mendidik anak-anak menjadi lebih baik. Taani
mengingatkan Dam bahwa Dam mewarisi tabiat baik cerita-cerita itu.
Seluruh penghuni kompleks mengenal Dam. Dam yang ramah, baik hati, dan
ringan tangan membantu. Dam yang selalu menyapa, Dam yang pandai
mendamaikan pertengkaran. Bahkan sopir angkutan umum di terminal kota
mengenal Dam dan mereka akan dengan senang hati mengantar tamu yang
bertanya rumah Dam sang arsitek. Dan Ayah Dam juga dikenal di seluruh
kota sebagai pegawai yang jujur dan sederhana. Dia tidak kaya. Dia bukan
pejabat tinggi, tetapi martabatnya tidak tercela, bahkan Papa Jarjit
pernah bilang kalau ayah adalah orang paling terhormat dibanding kolega
bisnisnya yang paling kaya sekalipun. Ayah hidup sederhana karena itu
pilihannya. Ayah lulusan terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa.
Saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi pejabat tinggi. Dia
bisa amat kaya dan berkuasa. Tapi ayah hanya memilih menjadi pegawai
negeri biasa dan hidup sederhana. Malam itu Dam dan Taani bertengkar
hebat, dan masalah yang di debatkan adalah soal Ayah Dam. Malam itu
Taani menangis, Zas dan Qon terlihat mengintip dari balik pintu kamar,
dan mereka ikut menagis.
Zas dan Qon selalu senang menghabiskan
waktu bersama kakek mereka. Taani mendapatkan amunisi terbesarnya, ia
mengungkit kesepakatan sebelum menikah. Tentu saja Dam ingat kalimat
itu, Dam selalu ingat apa yang dia ucapkan.
“Dan satu lagi,
kalau kita jadi menikah, ingat ya, kalau. . .kita bisa saja batal
menikah meski semua detail acara sudah diurus. Kalau kita jadi menikah,
ayah kau adalah calon kakek anak-anak kita. Aku tidak akan memisahkan
sedikit pun mereka dari kakeknya.”
Itulah syarat yang diajukan Taani saat akan menikah dengan Dam.
Enam bulan Ayah Dam tinggal bersana anaknya dan taani serta kedua
cucunya. Dan malam ini semua harus berakhir. Malam itu, saat penat lepas
pulang dari perjalanan jauh. Dam mendapati anak-anaknya sedang mencari
tahu kata “Akademi Gajah” lagi di dunia maya, Dam akan membuat keputusan
tegas. Malam itu terjadi perdebatan serius antara Dam dan ayahnya. Ayah
mulai tersengal, tubuh tuanya bergetar. Dam tidak akan berhenti sebelum
ayahnya benar-benar berhenti bercerita.
“Kau seperti tidak suka Ayah tinggal di sini, Dam.” Itulah kalimat pertama Ayah Dam setelah terdiam sejenak, berusaha mati-matian mengendalikan dirinya.
“Ya, aku memang tidak suka. Kecuali Ayah bilang pada Zas dan Qon bahwa cerita-cerita itu bohong.” Dam berkata dengan tegas.
“Aku tidak berbohong.” Ayah Dam menggeleng
“Kalau begitu Ayah tahu resikonya. Ayah harus pergi dari . . .”
Kalimat
Dam terputus oleh perkataan Taani. Sambil menangis berusaha menutup
mulut Dam, Taani terus memohon untuk tidak mengusir Ayah dari rumah
mereka. Taani sudah memeluk Dam.
“Itu Ayah, Dam. Ayah kau! Yang menggendong kau saat bayi, yang mengajak berlarian saat kau dua-tiga tahun. Itu Ayah, Dam.” Kata Taani memperingatkan.
Di
atas sana, Zas dan Qon menangis memeluk bantal. Mereka bisa mendengar
pertengkaran di ruang keluarga. Dengan semua keberaniannya, Zas
berteriak, “Ini semua salah Zas! Zas-lah yang meminta Kakek bercerita tentang sekolah Papa, tentang Nenek!”
“Baiklah-baiklah.” Ayah Dam berdiri, matanya redup menatap Dam. “Ibu
kau benar, Dam. Tidak seharusnya aku dulu menceritakan petualangan masa
itu. Ibu kau benar, suatu saat aku tidak akan siap dengan
akibat-akibatnya.” Suara Ayah Dam semakin parau malam itu
Taani langsung mencegah Ayah Dam untuk tidak pergi dan Zas dan Qon
sudah mendorong pintu kamarnya, dan berlari menuruni anak tangga, ikut
memeluk kakek mereka. Zas dan Qon menangis dan mencoba membujuk sang
kakek untuk tidak pergi. Namun, keputusan Ayah dam untuk pergi sudah
bulat, dengan jaket lusuhnya Ayah menghilang di balik pintu rumah
mereka. Ayah pergi malam itu juga saat hujan deras.
Drama setengah jam itu berakhir. Dam merebahkan dirinya di atas kursi,
menatap laptop yang berdering pelan. Dam baru menyadari sebuah keajaiban
besar. Mesin pencari di laptopnya tersambung ke seluruh ensiklopedia
besar dunia. Tetapi bagaimana mungkin tidak ada satu pun laman yang
pernah membahas Akademi Gajah, padahal Dam menghabiskan waktu selama
tiga tahun di sana. Dam kemudian memasukkan nama lengkap ibunya. Satu
detik berselang, dua belas ribu hasil pencarian muncul. Berita-berita
yang pernah memuat tentang ibunya, artikel yang menulis tentangnya,
kritikan, dan pujian ats kariernya. Dam tersedak. Taani benar,
kebenciaan itu membuat Dam tidak adil.
Tangan Dam
bergetar menggerakkan mouse, menggeser ribuah hasil pencarian. Sebuah
kolom berjudul ‘Bintang televisi menikahi pria biasa” menghentikan
gerakan dam.
Hujan di luar semakin deras. Cerita
tentang Akademi Gajah bukan bohong, tidak peduli walau tidak ada satu
pun lama yang pernah menulisnya. Cerita tentang ibunya lebih benar lagi.
Ribuan bukti terserak di depan Dam. Dam lelah berfikir, besok pagi,
keputusan malam ini bisa Dam bicarakan lagi dengan Taani.
Sayangnya, tidak ada lagi waktu untuk esok. Saat loper koran
melemparkan koran ke halaman, telepon rumah Dam berdering. Taani yang
sedang menyiapkan sarapan mengangkatnya. Taani dengan suara bergetar
memnggil Dam, menangis.
“Ada apa?” Dam bertanya.
“Ayah... Ayah ditemukan pingsan di pemakaman kota,” Taani berkata lemah, jatuh terduduk.
Di rumah sakit, petugas yang menjaga pemakaman kota berkali-kali minta
maaf pada Dam, bilang bahwa dia seharusnya melarang Ayah Dam
malam-malam, hujan-hujanan masuk ke pemakaman kota. Ayah dam memaksa
ingin ke pusara Ibu Dam malam itu. Saat itu ayah belum sadar. Sejenak,
saat berdiri menatap ayahnya dari kejauhan yang sedang dikerumuni dokter
dan perawat, seluruh kemarahan itu berguguran. Dam teringat momen yang
sama saat dulu menatap ibunya. Tubuh ayahnya kini dililit infus dan
belalai. Kesibukan yang sama dan rasa takut yang sama tiba-tiba memenuhi
hatinya. Dam dulu takut sekali jika ibunya tidak sempat membuka mata
sebelum Dam memeluknya, bilang betapa Dam menyayanginya. Dam menatap
langit-langit ruang tunggu, mengingat pertengkaran semalam. Dam mengusir
ayahnya dari rumah. Ayah pergi ke pusara Ibu.
Malam
harinya, saat Zas dan Qon tertidur, salah satu dokter keluar dari pintu
kaca, memanggil Dam, dan bilang kalau ayahnya sudah siuman dan ingin
bertemu dengan Dam. Doketer memberikan waktu tiga puluh menit untuk Dam
menemui ayahnya. Dua belas jam menunggu kabar ayahnya, sedikit-banyak
membuat kemarahan Dam menghilang. Saat tiba di ruang operasi, kondisi
ayahnya menyedihkan. Tubuh kurus tua itu terkulai lemah di atas ranjang
rumah sakit. Matanya redup. Napasnya tidak teratur.
“Dam.” Ayah tersenyum melihat dam
Dam mengangguk.
‘Ayah, apa kabar?” Dam bertanya pelan.
“Buruk, Dam. Buruk sekali.” Ayah tertawa kecil. “Dam,
maafkan Ayah, maafkan Ayah yang telah membuat ibu kau pergi. Kau benar,
Dam. Seharusnya Ayah tidak mempercayai kalimat si Raja Tidur. Sehebat
apa pun dia, sebijak apa pun dia, seharusnya Ayah lebih memercayai
naluri untuk melakukan apa saja untuk menyembuhkan ibu kau.”Ayah Dam sedikit tersengal. “Maafkan
Ayah, Dam. Ayah sudah keliru memahami urusan kita. Ayah pikir Ayah-lah
orang yang paling sedih, paling kehilangan. Ayah keliru. Kaulah... ya,
kaulah orang yang paling sedih atas kepergian ibu kau.”
Dam
menggeleng, bergegas mendongak, mencegah air mata tumpah. Tidak ada yang
perlu dimaafkan, tidak ada. Sejatinya mereka berdua sama sedihnya atas
kepergian ibu.
Malam itu, dalam keadaan sakit Ayah Dam menjelaskan pada putranya itu apa arti hakikat sejati kebahagiaan hidup.
“Dam,
hakikat sejati kebahagiaan hidup itu berasal dari hati kau sendiri.
Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun
berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam,
dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati
dari kebahagiaan yang datang dari luar kita. Hadiah mendadak, kabar
baik, keberuntungan, harta benda, pangkat, jabatan, semua itu tidak
hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang
pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib
buruk, itu semua juga akan datang dari luar. Saat semua itu datang dan
hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.” Ayah mulai tersengal
“Ayah, istirahatlah dulu, besok saja kita lanjutkan.” Kata Dam
“Tidak, Dam. Kau harus mendengar ini sampai selesai.” Ayah kembali melanjutkan. “Berbeda
halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam
hati itu konkret, dam. Amat terlihat. Mata itu menjadi sumber
kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan
kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut
bahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang
hatinya dangkal, sempit, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal
apa susahnya ikut senang. Itulah hakikat sejati kebahagiaan hati, Dam.”
“Apakah
ibu kau bahagia? Saat itu dia terkenal, kaya, dan berpengaruh. Hingga
kesedihan itu tiba. Dia jatuh saat menghadiri pesta. Dokter bilang,
usianya tidak akan lebh dari dua tahun. Ibu kau kehilangn gairah hidup.
Orang-orang di sekitarnya bergegas pergi meninggalkannya. Ayah bertemu
dengannya saat pesawat kami mengalami keterlambatan dua belas jam.
Wajahnya pucat, tangannya sering gemetar. Kami berkenalan. Ayah menikah
dengannya enam bulan kemudian. Ayah membawanya ke si Raja Tidur setahun
kemudian. Kami bicara malam itu. Ibu kau bilang, dia setidaknya bisa
bertahan setahun lagi. Dan kau lahir, Dam. Energi kebahagiaan saat
melihat kau menangis menyambut kehidupan membuat ibu kau bertahan. Ibu
kau bertahan bahkan lebih lama dibandingkan perkiraan si raja Tidur. Ibu
kau bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya, meski harus
hidup sederhana. Dia paham, dan memilih jalan itu, karena Ayah
jauh-jauh hari juga sudah memilih jalan itu.” Ayah Dam mengeluarkan air mata saat bercerita.
“Apakah
Ayah dan ibu kau bahagia? Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang
dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan
yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau
dengki. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, harta
benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan
yang kau miliki.” Ayah mengakhiri ceritanya dengan senyum yang mengembang.
“Apakah ibu kau bahagia, Dam? Kau sekarang tahu jawabannya.”
Saat
Ayah Dam menyelesaikan perkataannya, Dam sudah memeluk ayahnya dengan
sangat erat. Dam tidak menduga kalau itu adalah pelukan terakhir Dam
untuk ayahnya.
Pagi itu, Ayah Dam dimakamkan. Antrean pelayat
mengular panjang. Dam tidak pernah melihat keramaian seperti ini
sebelumnya di kota, keramaian ini mengalahkan kejuaraan nasional renang,
bahkan tur sang kapten dua puluh tahun silam. Dam mengangguk pelan
menerima setiap kalimat pujian untuk ayahnya, kalimat membesarkan hati,
kalimat ikut berdukacita.
Saat Dam mendongak ke atas. Ada sembilan
formasi layang-layang besar di sana. Dam mendesah. Sepertinya itu
bukan minggu festival layang-layang. Layang-layang itu terlihat anggun,
mengambang.
“Pa, jangan-jangan itu formasi layang-layang sembilan klan Suku Penguasa Angin. Mereka datang untuk melayat Kakek,” Zas yang berdiri di sebelah dam berbisik.
Dam hanya tertawa kecil medengar pendapat anaknya tersebut.
Di tepi pemakaman terdengar teriakan-teriakan. Seruan-seruan tertahan.
Kerumunan mencair. Anak-anak muda berlarian. Di tepi pemakaman, pemain
bola terhebat itu tersenyum lebar, melambaikan tangan, dan bergerak maju
mendekati pemakaman Ayah Dam. Tidak hanya sendiri, dia datang bersama
pemain legendaris. Itulah si Nomor Sepuluh, di belakangnya juga berdiri
sang Kapten kebanggaan Dam, dia tersenyum ramah kepada semua orang di
pemakaman. Si nomor sepuluh tinggal sepuluh langkah lagi dari pemakaman
Ayah Dam. Zas dan Qon sudah loncat mendekat.
“Kalian pasti dua monster kecil itu,” kata si Nomor Sepuluh. “Tidak salah lagi, kalian pasti dua monster kecil itu.”
Dam benar-benar kehabisan kata-kata. Taani memeluk Dam erat-erat, berbisik, ”Ayah tidak pernah berbohong, Dam. Ayah tidak pernah berbohong.”
Bintang sepak bola itu memeluk Zas dan Qon, menggendong mereka, lantas bergerak mendekati Dam. ”Kau tidak tahu betapa bencinya aku pada ayah kau, Dam.” Ia tertawa. “Setiap
malam ketika aku terlambat pergi latihan, pamanku, kapten tua ini,
selalu menceramahiku dan menyebut-nyebut ayah kau. Memaksaku berlatih
siang-malam, tidak sempat pergi bermain.”
Sang Kapten melangkah mendekati Dam, menyalaminya penuh penghargaan, ikut tertawa. “Jangan
dengarkan dia. Sejak kecil dia memang pemalas, tidak tahu berterima
kasih. Seharusnya dia melihat sendiri bagamana kapten tua ini dulu
diceritakan ayah kau tentang kerja keras, pantang menyerah.”
Dam
kehabisan kata-kata, tidak mengerti, silih berganti menatap si Nomor
Sepuluh yang menggendong Zas dan Qon dan sang Kapten yang berdiri di
depannya.
“Ayah kau pastilah tidak pernah bilang itu.” Sang Kapten seperti tahu apa yang dipikirkan Dam. “Tentu
saja, karena sejatinya tanpa bertemu dengan ayah kau saat aku menjadi
pengantar sup jamur, aku tidak akan pernah menjadi pemain hebat. Dan
tanpa itu, keponakanku yang pemalas ini juga tidak akan pernah menjadi
pemain hebat, karena aku tidak punya inspirasi mendidiknya. Ayah kaulah
yang datng ke klub itu, bilang aku berhak mendapatkan kesempatan. Dia
mengancam akan melaporkan klub itu ke komite olahraga karena menolakku
ikut seleksi hanya gara-gara tinggi badan.” Dia kembali mengenang perjuangan Ayah Dam untuk dirinya.
“Senang
akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kau, Dam. Satu-satunya
penyesalanku adalah aku tidak pernah tahu di mana ayah kau tinggal. Dia
raib begitu saja setelah lulus sekolah masternya. Aku bertahun-tahun
menyuruh agenku mencari tahu. Saat tur ke kota kau tiga puluh tahun
silam, aku berharap ayah kau menyapa, ternyata tidak. Aku bertanya ke
panitia pertandingan, tidak ada yang tahu. Untunglah keponakanku ini
ikut mencari. Dia berhasil mendapatkan nomor telepon ayah kau beberapa
bulan lalu, dan pernah menghubungi ayah kau. Kami merencanakan datang
saat libur musim kompetisi. Lihat, aku datang amat terlambat. Ayah kau
sudah pergi.”
Mata Dam tiba-tiba basah oleh air
mata. Orang-orang masih berepuk tangan. Jarjit yan dulu bangga sekali
punya bola bertanda tangan sang Kapten mengacungkan jempol, tersenyum.
Sang Kapten sudah memeluk Dam erat-erat. “Aku turut berdukacita, Dam. Ayah kau adalah segalanya bagi kapten tua ini. Ayah kau terlalu sederhana untuk mengakuinya.”
Dam balas memeluknya erat-erat, menangis terisak.
“Ayahku bukan pembohong.” Dam berkata dengan tegas
Hari itu Dam tahu bahwa ayahnya bukan seorang pembohong.